Akhir – akhir nama sondang
hutagalung menjadi populer ditelinga kita, mahasiswa akhir dari Universitas
Bung Karno. Sondang populer karena aksinya yang di luar dugaan orang lain yaitu
aksi bakar diri depan istana negara yang menyebabkan dirinya meninggal dunia.
Aksi bakar diri yang dilakukan
sondang dimata para warga bangsa indonesia memiliki cukup banyak kontroversi
baik yang mendukung maupun yang menolak aksi tersebut. Yang mendukung
berpendapat bahwa itu bukti kecewanya warga negara indonesia terhadap kondisi
bangsa yang semakin hari semakin parah terutama kasus korupsi.
Dan pendapat yang menolak juga
memiliki pendapat bahwa perjuangan untuk memperoleh kemenangan tidaklah
sebentar perlu waktu yang panjang, dan mereka beranggapan jika Founding Father
bangsa ini berfikir layaknya sondang maka bangsa ini pasti tidak akan merdeka
seperti sekarang dan seharusanya pemuda harus mempersiapkan diri guna menuju
kepemimpinan muda ke depan.
Sedangkan menurut penulis sendiri
aksi tersebut boleh saja dilakukan apalagi bangsa kita menganut sistem
demokrasi yang semua warga negara berhak melakukan apapun asal tidak menggangu
yang lainnya,
Aksi bakar diri mungkin akhir –
akhir ini menjadi tren baru dalam mengguh penguasa dengan kekuasaanya yang
menyelewengkan amanah yang telah diberikan oleh rakyat. Di Tunisia ada muhammad
bouazizi yang juga melakukan aksi bakar diri
dan menjadi inspirasi bagi masyarakat lain untuk melakukan perubahan
sistem yang otoriter menuju sistem yang demokrasi.
Aksi Bouazizi bahkan menjadi
ilham bagi negara tetangga. Selama 15 – 18 januari 2011, sudah 10 orang
membakar diri sebagai bentuk protes terhadap pemerintah. Mereka berasal dari
Mesir, Aljazair, dan Maurtania. Dua orang dilapotan tewas, sisanya dalam
keadaan kritis. Mungkin tindakan Sondang Hutagalung dan Mohamed Bouazizi sulit
dilihat persamaannya, apalagi motif bakar diri sondang masih belum jelas.
Mohamed Bouazizi
Mohamed Bouazizi, seorang tukang
sayur yang memicu kemarahan rakyat atas sang penguasa. Lelaki berusia 26 tahun
itu nekad membakar diri, setelah barang dagangannya disita polisi di kota Sidi
Bouzid pada tanggal 17 des 2010. Berhari – hari dirawat di rumah sakit,
akhiranya Bouazizi akhirnya meninggal pada tanggal 4 januari 2010.
Baouzizi adalah wajah rakyat
tunisia yang menderita. Negei itu dilanda krisis pangan, lapangan kerja sulit,
dan rakyat hidup dalam politik yang tidak peduli pada kritik. Tak banyak pilihan bagi pemuda
seperti Bouazizi. Lelaki itu adalah tiang keluarga, dan dia harus menghidupi
ibu dan adiknya. Itu sebabnya, bouazizi bekerja apa saja, termasuk menjadi
penjual sayur dan buah. Sebenarnya dia berpendidikan sarjana komputer. Namun
setelah lulus kuliah, bouazizi sulit mendapatkan pekerjaan seperti sarjana
lainnya di Tunisia. Itu membuat Bouazizi terpaksa mengasong, menjual sayur dan
buah.
Pada 17
Desember 2010 jualannya dirampas polisi. Alasannya, dia berdagang tanpa izin.
Lelaki malang itu lalu mengadu ke kantor gubernur di Sidi Bouzid. Dia meminta
keadilan. Tuntutannya sederhana: dia minta dagangannya dikembalikan, dan
diizinkan berdagang kembali. Tapi, teriakan Bouazizi seperti hilang ditiup
angin. Tak seorang pejabat di kantor itu peduli. Bouazizi pun putus harapan.
Dia lalu nekad: mengguyur dirinya dengan minyak, lalu menyulut api. Di depan
kantor gubernur yang angkuh itu pun tubuhnya terbakar.
Peristiwa
itu lalu menyentak warga Tunisia. Bouazizi seperti menjadi juru bicara tragis
bagi nasib mereka. Di tengah krisis pangan, pengangguran membekap Tunisia.
Harga kebutuhan pokok, seperti roti, gandum dan gula, melejit tak terbeli.
Rakyat pun murka. Demonstrasi meledak, dan kemarahan meluas ke sekujur negeri.
Lebih dari sepekan setelah Bouazizi membakar diri, Presiden Ben Ali membesuk
pemuda malang itu. Dia datang ke rumah sakit pada 28 Desember 2010. Tapi Ben
Ali tak peduli dengan kemarahan rakyat. Dia malah memberi cap teroris, bagi
para demonstran yang onar.
Ben Ali bahkan mengerahkan aparat keamanan meredam aksi massa.
Korban pun berjatuhan. Kebencian pada Ben Ali dan rezimnya makin menggila. Ben
Ali kaget, tapi dia yang dulu berkuasa lewat kudeta tak berdarah pada 1987,
terlambat. Kemarahan rakyat tak lagi terbendung. Rakyat Tunisia lalu tumpah ke
jalan. Mereka menuntut Ben Ali turun. Akhirnya, pada 14 Januari 2011, Ben Ali
yang tak lagi dipercaya rakyat itu pun diam-diam kabur ke Arab Saudi bersama
keluarganya.
Sondang
Hutagalung
Sondang
Hutagalung adalah mahaiswa ingkat akhir di Universitas Bung karno berusia 22
tahun. Mengutip dari kata – kata yohanes ( penulis artikel “ Aksi Bunuh diri
sondang patut diacungi jempol ) beliau memberikan tujuh analisis :
1. Sondang sedang menyelesaikan skripsi karena jadwal wisuda
tgl 24 Nopember 2011, ber-IP 3,28.
2. Berasal dari keluarga “tidak kaya” (ayahnya sopir taxi,
ibunya tidak bekerja).
3. Aktivis dalam Himpunan Aksi dan Studi Mahasiswa Marhaen untuk
Rakyat Indonesia (Hammurabi) dan Solidaritas untuk Munir.
4. Beriman “kristiani” dan suka lagu rohani.
5. tiga hari sebelum Sondang bakar diri, mahasiswa Fakultas
Hukum UBK ini jadi pendiam. Keluarga juga sempat bertanya-tanya soal perubahan
sikap Sondang.
6. Tertutup soal masalah pribadi. Keluarga, sahabat dan
pacarnya tidak tahu rencana bunuh diri Sondang.
7. Sondang batal diwisuda 24 November lalu karena
permasalahan terjadi pada tugas akhir alias skripsinya belum selesai.
Dari 7 hal ini dapatlah ditarik benang
merah diantaranya untuk mengambil kesimpulan sementara, bukan
langsung dijustifikasi bahwa motif Sondang adalah perjuangan untuk keadilan.
1. Sebagai seorang beragama Kristen, Sondang pasti sadar
bahwa bunuh diri adalah perbuatan dosa. Apalagi Sondang cukup “rohani” meski
bukan aktivis gereja. Berjuang dengan cara bunuh diri ? Kurang meyakinkan…
2. Meski berasal dari keluarga “tidak kaya”, Sondang
berprestasi dan berhasil memperoleh beasiswa dari 2 institusi: perusahaan
tempat ayahnya bekerja dan UBK karena prestasinya. Bunuh diri karena kesulitan
ekonomi ? Juga kurang meyakinkan…
3. Sondang tidak aktif di Himpunan Aksi dan Studi Mahasiswa
Marhaen untuk Rakyat Indonesia (Hammurabi) dan Solidaritas untuk Munir dalam 2
bulan terakhir tanpa diketahui penyebabnya (disampaikan oleh sesama aktivis).
Salah satu alasannya adalah menyelesaikan skripsi. Ini memang benar…
4. Pihak keluarga mengamati perubahan diri Sondang yang
menjadi pendiam 3 hari sebelum bunuh diri tgl 7 Desember 2011. Ada kemungkinan
frustasi karena gagal ikut wisuda 24 Nopember 2011. Keluarga sangat menyesalkan
tindakan bunuh diri tersebut. Apapun alasannya, dia tumpuan keluarga. Salah
satu kemungkinan…
Menyimak 4 hal ini, apakah tepat jika kita
menilai motif bunuh diri Sondang adalah perjuangan atas ketidakadilan di negeri
ini ? Secara pribadi, saya tidak sependapat. Saya lebih cenderung menganalisa
bahwa motif bunuh diri Sondang adalah karena persoalan studi, gagalnya diwisuda
karena skripsi belum selesai. Dia malu dan kecewa berat karena sebagai
mahasiswa berprestasi, aktivis, memperoleh beasiswa tapi tidak bisa selesai
tepat waktu sesuai targetnya. Apalagi seperangkat pakaian telah dibelikan
kakaknya untuk dikenakan saat wisuda (jika lulus): sepatu (dipakai saat
kejadian), kemeja, celana panjang, kaos kaki bahkan celana dalam. Ini
mengindikasikan bahwa dia sedang frustasi karena “macet studi”.
Soal teriakannya “berantas korupsi, hukum
mati koruptor !” merupakan buah pelariannya dari masalah. Tentang
dipilihnya lokasi bunuh diri di depan istana negara, secara psikologis sangat
dipengarui oleh “jiwa aktivisnya” yang ingin sensasional. Pilihan itupun
belum tentu dilakukan secara sadar. Bisa saja ada proses “dibawah sadar” yang
membuatnya menuju ke lokasi di depan istana negara toh dia masih dalam kondisi
“batin tertekan”. Jadi dalam kasus bunuh diri Sondang, sejarah
keaktifannya dalam gerakan melawan ketidakadilan dan anti korupsi menjadi
“faktor kebetulan/motif pendukung” bukan causa prima-nya. Adalah benar bahwa
Sondang memang memiliki nyali melebihi kita semua !
Kesimpulannya
Jadi meskipun
saudara kita Sondang Hutagalung membakar diri namun gejolak protes terhadap
penguasa tidak akan terjadi seperti di Tunisia. Protes akan ada namun hanya
kelompok minoritas yang tersadarkan secara politik dan sosial yang
melakukannya. Mayoritas rakyat Indonesia lain hanya merasa iba tanpa melakukan
aksi yang berarti. Atau malah kejadian ini hanya dilihat sebagai adegan bunuh
diri biasa karena kelaianan jiwa. Apalagi jika presiden SBY melakukan jumpa
pers untuk mengucapkan bela sungkawa dengan ekspresi wajah yang menyedihkan
(menangis).
Jadi yang
terpenting adalah bagaimana kesadaran itu dibangkitan. Represi politik dan
monopoli ekonomi adalah faktor yang penting tapi tak kalah penting dengan
kesadaran politik (sosial). Jangan lupa ketika kejatuhan Suharto semata-mata
karena tekanan ekonomi dan politik terhadap rakyat Indonesia. Melainkan
beberapa Tahun sebelum peristiwa reformasi upaya-upaya penyadaran politik sudah
digalakkan. Sehingga hegemoni penguasa dapat terkalahkan.
Sumber ::