Sistem politik nasional yang melatar belakangi gerakan mahasiswa Indonesia tahun 1966 perlu dibeberkan kembali agar bisa menempatkan gerakan mahasiswa era tersebut secara proporsional. Dengan pemaparan semacam itu akan kelihatan di mana gerakan mahasiswa itu bersifat otentik sebagai cetusan dari tanggung jawab moral mereka terhadap keadaan, yang kemudian membentuk moral force untuk mengontrol kekuasaan. Dan di mana gerakan mahasiswa terjebak secara sadar atau tidak ke dalam permainan politik pihak lain, apakah itu militer, Soekarno, partai-partai politik dan terutama PKI. Hal itu saat ini menjadi persoalan krusial yang menyelubungi gerakan mahasiswa tahun 1966.
Politik Indonesia pasca kemerdekaan diwarnai oleh sengitnya persaingan antara Soekarno dengan militer. Sebagai presiden dan proklamator Soekarno memang memiliki kekuasaan secara de facto maupun de jure.Begitu pula militer, sebagai angkatan perang mengklaim punya hak atas kekuasaan mengingat jasa mereka terhadap terbentuknya republik ini. Karena itu militer menuntut hak-hak istimewa dalam politik sehingga memiliki burgain politik yang kuat baik di hadapan Soekarno maupun di hadapan partai politik. Ketidakstabilan kekuasaan politik yang dipegang partai-partai politik membuat tentara sangat risau, apalagi saat itu negara diguncang oleh berbagai pemberontakan daerah. Maka atas desakan militer pada tahun 1957 Soekarno mengumumkan diberlakukannya Undang-Undang darurat. Hal itu memungkinkan militer bisa berbuat banyak hal tanpa dibatasi kewenangannya.
Sejak dikeluarkannya dekrit Presiden 5 Juli 1959 dikeluarkan oleh Soekarno, Indonesia yang seharusnya sebagai negara demokrasi pembagian kekuasaannya terdiri atas tiga lembaga, legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Tetapi dalam demokrasi terpimpin ini pembagian kekuasaan hanya ada antara Presiden Soekarno dan militer. Lalu terbentuklah partai-partai besar seperti PMI, NU, dan PKI. Kemudian situasi politik internasional semakin memanas dan mempengaruhi situasi politik nasional sehingga Soekarno semakin menggandeng PKI yang menjadi kekuatan politik yang sangat efektif.
Kondisi Indonesia yang semakin parah akibat adanya program pemerintah yang menyita perhatian seluruh masyarakat dan biaya yang sangat besar di antaranya adalah pembebasan Irian Barat 1962 dari kolonial Belanda, konfrontasi dengan Malaysia, dan perekonomian yang merosot dengan kebijakan yang semakin memberatkan rakyat sehingga menyebabkan inflasi dan ketegangan politik yang semakin jauh. Akhirnya meletuslah Gerakan 30 September 1965.
Mengambil momentum ini mahasiswa kembali bergerak memanfaatkan situasi untuk mengkritik keadaan. Kemudian terbentuklah Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) pada tanggal 25 Oktober 1965 yang akhirnya tersebar ke mana-mana untuk melakukan koreksi terhadap rezim yang ada.
Mahasiswa menyampaikan tuntutan-tuntutan secara spontan, lalu dirumuskan dalam sebuah konsep sederhana yaitu Tritura yang isinya menuntut pembubaran PKI, Retool kabinet Dwikora, dan turunkan harga barang. Dideklarasikan pada 10 Juni 1966 tepat hari kebangkitan mahasiswa Indonesia.
Berbagai aksi dilakukan dalam rangka merubah keadaan tersebut. Mahasiswa mendapat dukungan dari militer yang dipimpin oleh Soeharto yang tentu saja bukanlah sebuah keikhlasan militer itu sendiri tetapi sebagai bagian dari struggle power (pertarungan kekuasaan) yang tidak disadari mahasiswa sendiri. Pada tanggal 16 Februari 1966, Soekarno melakukan reshufle kabinet dwikora dengan orang-orang yang punya cacat dan tidak kompeten dalam menjalankan tugas. Lalu terjadilah aksi oleh KAMI beserta Kesatuan Pemuda dan Pelajar Indonesia (KAPPI) dengan tuntutan segera melaksanakan Tritura.
Bentrokan terjadi dan mengakibatkan gugurnya Arief Rahman Hakim yang semakin membuat gerakan mereka solid. Ketika KAMI dilarang 4 April 1966 mahasiswa membentuk Laskar Arief Rahman Hakim yang terdiri dari 42 universitas dan perguruan tinggi di Jakarta. Militer pun semakin memberikan dukungannya dan akhirnya terjadilah aksi besar-besaran oleh mahasiswa.
Kondisi keamanan yang semakin buruk dan atas skenario yang diciptakan militer, serta mahasiswa yang semakin menekan pemerintah untuk segera melakukan perubahan, akhirnya Soekarno mengadakan sidang kabinet. Setelah mengalami desakan dan tekanan dari berbagai pihak akhirnya Soekarno melimpahkan kekuasaan keamanan negara kepada militer yang saat itu dipimpin oleh Pangkostrad Soeharto. Militer mengambil alih pemerintahan dari Soekarno melalui Supersemar. PKI pun dibubarkan dan mahasiswa merasa telah berhasil dalam berbagai perjuangannya.
Dengan demikian, sejak saat itu gerakan mahasiswa telah nyaris berhenti. Semuanya telah jatuh dan diserahkan kepada penguasa militer. Dengan penuh kenangan dan heroisme perjuangan kembali ke kampus membawa mitos kemenangan dan mengabadikan perjuangan mereka dalam sebuah monumen, angkatan 66 dan sebagainya. Angkatan 66 dimunculkan sebagai mitos dan dijadikan rujukan sejarah bagi gerakan mahasiswa yang berhasil memperjuangkan idealismenya. Selama Orde Baru berkuasa yang dipimpin oleh Soeharto, angkatan 66 mendapatkan fasilitas dan peran yang cukup memadai. Ketika dikukuhkannya Dwifungsi ABRI sebagai kekuatan militer dan sekaligus sosial politik, gerakan mahasiswa sepenuhnya terserap dalam kekuasaan militer dengan Golongan Karya (Golkar) sebagai mesin untuk mobilisasi massa.
Gerakan mahasiswa angkatan 66 memang monumental dalam mobilisasi mahasiswa, tetapi kemurnian gerakan mereka telah masuk ke dalam setting politik yang dibangun militer sehingga ketika berbagai penyelewengan yang dilakukan pemerintah orde baru tidak membuat mahasiswa bangkit untuk merubahnya melainkan semakin mengikuti kehendak penguasa pada saat itu.