“ pada waktu mudanya, orang tua itu adalah seorang pemuda yang nakal perewa kata orang minangkabau. Kejahatan – kejahatan bagi orang muda hampir semua dilakukannya. Beliau berkata “ Sudah tua begini dan sudah lebih 40 tahun berlalu, namun kalau ada orang menghisap canduk agak 100 meter dari surauku ini, hidungku masih dapat mengetahui bahawa yang dihisapnya adalah candu”.
Lalu beliau ceritakan bahwa pada suatu malam dia berjalan atau berpetualang melepaskan hati risau sebagai orang muda, dalam hari gelap gulita. Lalu terjadilah hal yang tidak disangka – sangka. Ada orang maling di kampong itu yang ketahuan oleh orang – orang yang sedang meronda di kampong itu. Lalu dikejar maling itu dengan berteriak, maling….maling.!!” maka serentak seisi kampong turut pula keluar mengejar maling. Pada saat itu beliau ada di sana. Rasa takut tiba – tiba tumbuh dihatinya. Khatir kalau orang – orang kampung itu salah sasaran dan dia yang disangka maling. Apalagi suara maling dan gedebuk kakai berlari semakin dekat menjuju kearahnya.
Maka diputuskannya untuk lari dan bersembunyi. Ia lemparkan dirinya pada rerimbunan rumput bento. Ia miringkan tubuhnya dengan merapat ke tanah. Orang terus berteriak maling, ia sendiri menyadari, bahwa malam itu ia henda maling, tapi bukan maling harta melainkan maling perempuan. Dan nasibnya malam itu sungguh apes, ternyata kawanan orang kampong itupun masuk ke tebat tempatnya bersembunyi. Dalam gelap itu orang –orang kampong melempar batu ke sembarangan semak. Dan ia yang bersembunyi, tertimpa pula beberapa pukulan keras yang mendarat di lambungnya. “ buk…bukk” ia diam sakit. Bekas luka pukulannya itu masih membekas sampai hari tuanya.
Entah beberapa jam ia bersembunyi di tempat itu, sementara itu sakit yang menyiksanyan hanya ia rasakan sendirian. Ia tetap di tempatnya iyu meyakinkan benar sampai Orang –orang kampong itu menjauh dari tempatnya. Hingga hari pun smpai perak siang. Datanglah waktu subuh, ternyata tempat ia sembunyi itu adalah tepat pada sebuah surau. Seorang muazdin telah melantunkan panggilan subuhnya dengan azan.
Selama azan berkumandang, mangalirlah jalan hidupnya dalam ingatannya. Ia menangis. Bukan menderita sakit tetapi ingat akan hidupnya dalam irama azan shubuh itu. Sampai seusia itu hanya diisi dengan perbuatan sia – sia bahkan aniaya. Mencuri, merampok, berjudi, main perempuan dan seluruh kenangan gelapnya menari – nari dalam alunan azan shubuh.
Bangkitlah ia dari sembunyi diyakinkan bahwa suasana benar – benar sepi. Sebelum orang – orang datang ketempat itu, ia menggeloyor pergi, sementara itu air matanya mengalir seperti sungai. Air mata penyesalan….
Ia pulang tetapi pagi ini ia tak hanya hendak pulang ke rumah, tetapi hendak pulang ke jalan Allah. Masih ada waktu , ia bertekad hendak merubah jalan hidupnya.
Ia mengenang ayahnya. Sebagai kepala penghulu di gurun panjang, betapa ia telah lama menahan malu dengan tingkah lakunya yang berandalan itu. Maka setelah hari siang, ia menyusul ayahanya. Didepan ayahanya itu, smabil tetap terurai air mata ia minta agar dikirimkan ke mekkah. Ayahnya kaget bercampur haru. Sekarang air mata ayahnya yang tumpah karena gembira. Dipeluklah anaknya yang telah lama hilang itu. Dia sendiri, engkau kapala negeri Gurun Panjang yang akhirnya megantarkan anaknya belajar ke Mekkah.
Bertahun – tahun ia tinggal disana, berguru dengan beberapa ulama. Hingga akhirnya waktu mengajaknya pulang kembali ke Minangkabau . dulu ia jadi perewa, kini menjadi ulama pembaharu di Minangkabau, ialah ahli falak yang masyur pada masanya, Syaikh Muhammad Jamil Jambek. Suraunya berada di tengah sawa, Bukit Tinggi selalu ramai santri yang akan menimba ilmu kepadanya.
Cerita ini adalah cerita pengalamnya hamka yang termuat dalam tafsirnya yang terkenal yaitu Al – Azar Juz XXVIII