Sikap diam atau bungkam tiba – tiba oleh Nazaruddin yang menjadi tersangka kasus korupsi pembangunan Wisma atlet , yang sebelumnya begitu kencang “bernyanyi “ ketika berada diluar negeri manjadi pemberitaan di semua media massa dan sangat menarik untuk dikaji. Nazaruddin tiba – tiba bungkam ketika diperiksa oleh KPK selama 2 jam dan mengirimkan surat kepada SBY yang isinya untuk tidak menyikiti anak dan istrinya serta drinya bersedia di hukum tanpa melalui proses hukum yang semestinya.
Sulit mengukur apakah makna diam Nazaruddin setelah tertangkap ?apakah karena strategi bungkam dianggap seabagai startegi paling tepat untuk membantah semua tuduhan kepadanya atau boleh jadi strategi ini akumulasi pegalaman pahit diri nazaruddin yang ditinggal kawan – kawannya yang baik tiba – tiba diam terhadap kasusnya dan bahkan menjadi seteru utamanya.
Diam versus berbicara
Seperti dikemukakan Thomas M. schidel ( 1976 : 28 ), orang berbicara untuk menunjukkan diri bahwa ia itu eksis. Kita dapat memodifikasi frase filosof Prancis, Rane Descertes ( 1596 ) yang terkenal itu Cogito Ergo Sum ( saya bericara, maka saya ada ). Bila kita berdiam diri, orang lain akan memperlakukan kita seolah – olah kita tidak eksis.
Pengamatan sederhana dapat kita lihat dari fenomena anak – anak balita disekitar lingkugan kita, fenomena seorang anak yang berbicara sendiri, untuk menunjukkan bahwa dirinya eksis, meskipun teman – temannya sedang asyik dengan diri mereka dan mainan mereka, ketika teman – temannya pergi ia pun akan berhenti berbicara dan ia pun mulai berbicara lagi ketika teman – temanya itu berada lagi didekatnya.
Scheidel ( 1976 )juga mencatat, bila seorang anggota kelompok diskusi tidak berbicara sama sekali dan tetap memilih diam, orang lain akan segera mengaggapnya bahwa si pendiam itu tidak ada sama sekali. Mereka tidak akan meminta kepada sipendiam itu untuk member komentar atau berbicara kepadanya. Dan bila si pendiam serta – merta memutuskan bericara , anggota lainnya sering beraksi seolah – olah si pendiam menganggunya. Mereka mengharapkan si pendiam itu tidak berbicara.
Namun dari sudut pandang komunikasi , sebenarnya tidak ada orang yang tidak berkomunikasi, selama ada orang lain yang hadir. “ one cannot not communication “ , kata Watzlawick, Beavin, dan Jackson dalam Gudykunst dan kim ; 1992;8. Maka, diam juga mengkomunikasikan sesuatu ; kesetujuan, ketidaksetujuan, kurang berminat, masa bodoh, perasaan terluka, marah, protes, atau bahkan kebodohan.
Mislanya , kita mendiamkan orang lain karena kita marah kepadanya atau sebagai cara untuk menghukumya. Mahasiswa melakukan aksi diam untuk memprotes terhadap pihak yang berwenang.
Diam sebagai budaya
Makna diam juga terkait pada dengan budaya, berbada pandangan timur dan barat dalam menyikapi hal ini. menurut Samovar dan Porter ( 1991 ) pandangan orang timur mengenai diam berbeda dengan pandangan orang barat. Pada umunya orang timur tidak merasa tidak enak dengan tidak adanya suara atau pembicaraan.
Agama Budha misalnya mengajarkan bahwa “ Yang nyata itu ada, dan ketika hal itu dibicarakan, itu menjadi tidak nyata . “ perkawianan orang budha dilakukan dengan diam. Sedangkan bagi orang – orang Indian Amerika, tidak berbicara adalah tanda orang besar.
Dalam beberapa budaya, diam itu kurang disukai dariapada berbicara. Dalam banyak diskusi social kita menghargai pembicaraan, seberapa kosong pun pembicaraan itu tujuannya adalah untuk melepasakan kepenatan dan mengatasi keterasingan. Di Negara – Negara Arab dan Yunani yang mementingkan interaksi sosial, berdiam diri dianggap tidak menyenangkan diantara sesame anggota keluarga dan masyarakat.
Akan tetapi dalam budaya lain, diam itu justru menyenangkan. Dalam budaya jepang mislanya, diam ( jeda )saat berbicara yang mengantarai satu kalimat dengan kalimat berikutnya atau satu topic dengan topik berikutnya. Dan bangsa pendiam lainnya adalah finlandia. Perilaku mereka dikiaskan perilaku manusia musim dingin, lewis ( 1996 ) melukiskan orang finlandia sebagai orang introvert.
Diamnya Nazaruddin
Kembali ke diamnya Nazaruddin, terpulang kepadanya, apakah ia akan diam terus atau akan berbicara, setidaknya kasus yang membelitnya belum selesai. Bersediakah ia menerima tantangan berbicara dengan mengukpakan kejelasan kasus yang menimpa dirinya??
Richard L.Johansen ( 1990 ) mengungkapakn diam pun boleh jadi membawa implikasi etis. Misalnya, bila peran kita menuntut bahwa kita harus berbicara tentang suatu subjek, berdiam diri dapat dinilai tidak etis.
Menurut penulis sebaiknya yang dilakukan oleh Nazaruddin adalah berbicara yang sebenarnya karena Nazaruddin adalah Kunci kasus korupsi Pembangunan Wisma altet banyak diharapakan oleh masyarakat untuk berbicara guna membongkar kasus korupsi yang melilit kader – kader PD dan elit pejabat negeri ini.