Kepala Departemen Kajian Strategis & Kebijakan BEM UGM
Ada acara yang cukup menarik untuk diulas pekan ini. Lebih dari 2.600 kepala negara, pelaku bisnis, dan masyarakat sipil berkumpul di Davos, Swiss, untuk mengikuti gelaran World Economic Forum. Acara yang rutin digelar setiap tahunnya ini akan berlangsung pada 25-29 Januari yang akan datang.
Seperti biasa, World Economic Forum menjadi salah satu acara penting dan 'bergengsi' bagi perekonomian dunia. WEF Tahun ini mengambil tema 'great transformation': sebuah rencana aksi transformasi besar dalam seting kapitalisme global yang memperlihatkan kerapuhan dirinya di Eropa dan Amerika Serikat, tahun ini.
Tentu saja, perdebatan hangat dalam forum tahun ini adalah soal kapitalisme. Eropa berada dalam krisis. Amerika Serikat sudah sejak akhir tahun lalu menghadapi gerakan Occupy Wall Street, sebuah kritik tajam atas operasionalisasi kapitalisme dunia yang berada dalam krisis. Wajar jika kemudian wacana untuk mentransformasikan kapitalisme ke dalam 'wajah baru' terus mengemuka.
Di belahan dunia lain, ternyata juga tengah digelar sebuah perhelatan yang juga penting: World Social Forum. Para pegiat masyarakat sipil yang cukup kritis terhadap kapitalisme dan globalisasi menggelar sebuah forum di waktu yang sama, 24-29 Januari 2012, untuk membahas krisis kapitalisme dan keadilan sosial-lingkungan.
Gelaran yang cukup sukses di Dakar tahun 2011 dilanjutkan di Porto Allegre tahun ini. World Social Forum menjadi antitesis dari World Economic Forum; Ketika para pemimpin politik, ekonomi, dan bisnis dunia berkumpul untuk menyelamatkan kapitalisme, para pegiat masyarakat sipil yang kritis terhadap kapitalisme menggelar forum untuk menyelamatkan keadilan dari kapitalisme yang hampir bangkrut.
Alternatif Wacana
Dua gelaran forum ini merefleksikan sebuah fenomena yang cukup sulit dibantah: kita masih menghadapi distingsi dan penjarakan antara kutub ekonomi -yang sering disalahartikan sebagai 'kapitalisme'- dengan kutub sosial -yang juga kerap dilekatkan dengan istilah 'sosialisme'.
Benarkah demikian? Kesimpulannya mungkin tak bisa diambil secara terburu-buru. Jika sejarah World Economic Forum dan World Social Forum dilacak lagi, keduanya mungkin akan bertemu di satu titik yang sama: globalisasi. WEF berawal dari European Management Meeting yang mempertemukan pelaku ekonomi Eropa pada dasawarsa 1970an.
Dari sana, gayung disambut oleh pemimpin ekonomi dunia. Pasca-runtuhnya Uni Sovyet pada awal dasawarsa 1990an, forum berkembang menjadi lebih luas, melibatkan negara-negara yang akrab dengan kapitalisme. Lahirlah pertemuan World Economic Forum yang tiap tahunnya selalu bermarkas di Davos.
Namun, gerakan kritik atas globalisasi yang juga mencuat pasca-Perang Dingin. Jika Margaret Thatcher menyatakan bahwa there is no alternative selain kapitalisme dalam pengaturan ekonomi global, aktivis anti-globalisasi justru berkampanye "another world is possible". Selalu ada kemungkinan untuk membentuk tatanan dunia yang lebih berkeadilan tanpa harus menjadi 'kapitalis'.
Konsolidasi aktivis anti-globalisasi tersebut kemudian melahirkan pertemuan World Social Forum. KetikaWorld Economic Forum bertahan dengan kerangka kerja ekonomi yang sangat berorientasi pasar bebas, World Social Forum menawarkan keadilan sosial dan etika lingkungan sebagai alternatif.
Di satu sisi, pertemuan Davos sering disimbolisasi sebagai tiang pancang kapitalisme global. Sebab, tak bisa dipungkiri, pertemuan tersebut dihadiri oleh para pebisnis tingkat global dan nasional yang menegosiasikan kepentingannya dalam percaturan ekonomi global.
Dan di sisi lain, pertemuan Porto Allegre yang digelar aktivis WSF sering dianggap sebagai antitesis dari Davos. Brazil, yang oleh Goldman Sachs digadang-gadang sebagai salah satu negara besar di masa yang akan datang, merupakan salah satu sentra kritik terhadap kapitalisme Amerika Serikat dalam berbagai hal. Hegemoni Amerika Serikat tengah diancam secara silent oleh kekuatan lain yang tengah tumbuh.
Tawaran 'keadilan' menjadi antitesis dari 'kebebasan' yang ditawarkan WEF. Apalagi, dengan basis pegiat World Social Forum yang berasal dari negara-negara berkembang dan terbelakang, alternatif wacana yang ditawarkan WSF menjadi sesuatu yang sangat menarik. Gerakan-gerakan yang kritis terhadap kapitalisme dan globalisasi kemudian mulai melakukan konsolidasi untuk menjawab tantangan zaman.
Transformasi Kapitalisme
Tahun 2012 menjadi sebuah tahun yang cukup krusial. Sebab, krisis kapitalisme telah menyegarkan kembali wacana mengenai transformasi global dalam kapitalisme. Artinya, klaim Francis Fukuyama atau Margaret Thatcher yang melihat kapitalisme sebagai 'historical end' menjadi titik nadir.
Sebaliknya, klaim Marx bahwa kapitalisme akan runtuh oleh lontradiksi di dalam dirinya sendiri juga tidak terbukti, karena ada proses reproduksi yang tercipta melalui transformasi kapitalisme itu sendiri.
Sehingga, tawaran World Social Forum tentang keadilan dan etika lingkungan -sebagaimana diwacanakan tahun ini- sebetulnya dapat menjadi sebuah alternatif menarik. Pertanyaannya, mungkinkah menyatukan dua persepsi yang berbeda antara uang dan etika itu, tanpa harus menegasikan yang satu dengan yang lain?
Dalam kerangka transformasi global yang dibawa oleh World Economic Forum tahun ini, agaknya kita perlu optimis untuk mendamaikan dua kerangka pikir yang kelihatannya saling menegasikan itu. Dalam sambutan Profesor Klaus Schwab yang disampaikan pada Forum tahun ini, ada tiga kerangka transformasi yang coba ditawarkan.
Pertama, distribusi kekuasaan dari utara ke selatan, dari negara yang kuat menuju masyarakat sipil yang berdaulat, serta dari hard power yang berorientasi militer menjadi soft power yang berlandas pada kekuatan non-militer. Distribusi kekuasaan ini mengimplikasikan adanya kolaborasi antara semua elemen -negara, masyarakat sipil, pelaku ekonomi, dll- untuk membangun kerangka dunia baru yang lebih damai.
Kedua, penghargaan atas multikulturalisme, multi-etnisitas, serta multi-religiusitas yang dimiliki dunia. Kesadaran untuk hidup bersama dan berdampingan secara damai berarti juga menghargai hak-hak sosial-ekonomi yang dimiliki oleh orang lain, sehingga kapitalisme tidak hanya berarti akumulasi kapital, tetapi juga lebih "ramah" terhadap pluralitas dan kemanusiaan.
Ketiga, kesadaran untuk memperhatikan dampak sosial dari globalisasi. Artinya, mobilitas ekonomi-politik yang mengalir deras dari negara maju ke negara berkembang bukan berarti tanpa tanggung jawab sosial. Ada kesadaran dari korporasi untuk bertanggung jawab terhadap lingkungan dan kemiskinan yang terjadi di negara berkembang.
Ketiga hal ini ditawarkan oleh Profesor Schwab tahun ini. Persoalannya, apakah wacana transformasi kapitalisme ke 'wajah baru' ini dapat mendamaikan dua kutub yang berseberangan antara WEF dan WSF? Ataukah justru hanya menjadi propaganda untuk menyelamatkan wajah lama kapitalisme agar dapat kembali beroperasi di masa depan?
Apapun hasilnya, World Economic Forum dan World Social Forum masih perlu dinantikan perkembangannya. Semoga harapan atas transformasi kapitalisme tidak menjadi sekadar propaganda politik, tetapi juga sebuah niat tulus untuk membangun dunia baru yang lebih berkeadilan.
Ingat, another world is still possible. Jika kapitalisme memang enggan mengubah wajahnya, mari pergi ke dunia lain yang lebih baik.
Nuun wal qalami wa maa yasthuruun.