Desakkan pejabat publik
mengundurkan diri dari jabatannya, tidak lepas dari upaya menajaga “ kontrak
politik “ antara pejabat dan publik. Kontrak yang dimaksud adalah
bagaimana sang pejabat tetap menjadi pelayan
dan membuktikan janji – janji kampanyenya kepada publik.
Tidak mengherankan bila jika
kemudian salah satu syarat penting dari “ kontrak “ itu mengharuskan pejabat public benar –
benar bersih dan memperjuangkan kepentingan masyarakat dibandingkan kepentingan
pribadi. Dalam konteks inilah kemudian muncul desakkan mundur bagi pejabat yang
mengingkari kontrak tersebut. Sayangnya, tradidi mundur dikalangan pejabat kita
masih belum tampak.
Keharusan mengundurkan diri hanya
tercantum dalam undang – undang nomor 12
tahun 2008 tentang pemerintahandaerah, itu pun hanya dalam konteks ketika
pejabat akan maju kembali dipemilihan kepala daerah. Syarat mengundurkan diri
pun akhirnya juga dibatalkan oleh Mahkamah konstitusi pada agustus 2008.
Yang ada hanyalah pemberentihan
pajabat yang terlibat tindakan pidana kejahatan. Dalam hal ini terncantum dalam
undang – undang nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah pasal 30.
Pemeberentian itu pun syarat sudah ada putusan pengadilan yang berkekuatan
hokum tetap. Parahnya tidak jarang banyak kepala daerah yang tersengkut hokum,
khususnya korupsi malah bertahan dan mengulur
proses hokum agar terhindar dari pemberhetian tetap.
Soal idelisme
Bandingkan dengan tradisi mundur yang begitu kuat dinegara
lain. Untuk urusan kesalahan kebijakkan
yang merugikan kepentingan public, tidak jarang seorang pejabat mundur dari
jabatannya.
Mundurnya kepala pengawasan
makanan china di Changjiang pada akhir 2008
karena meras gagal mengehentikan penyebaran susu tercemar, yang
menyebabkan ribuan bayi sakit, adalah
contoh tradisi yang baik untuk membangun kepercayaan publik. Hal yang
sama juga terjadi di Brazil saat menteri
pertanian Wagner Rossi memutuskan mengundurkan diri pada 17 agustus lalu
terkait dugaan korupsi yang menjerat dirinya.
Tradisi mundur lainnya yang layak dibangun dinegeri
ini selain karena pengingkaran terhadap
kontrak politik dengan public adalah menjaga
nilai idealism. Lihat yang dilakukan oleh bung Hatta ketika dirinya
merasa tidak cocok lagi dengan kepemimpinan bung karno, Hatta mundur dari jabatan Wakil presiden pada 1 Desember 1956.
Perebdaan pandangan politik menjadi salah satu alasan kemnuduran Hatta.
Namun, kemunduran Hatta bukan berarti kemudian menggalang kekuatan ( politik )
untuk menandingi kekuasaan Bung karno. Hatta justru menarik diri dari hiruk
pikuk kekuasaan dengan tetap mendukung
pemerintahan Seokarano.
Mundur sebagai Aib
Jawaban sederhana mengapa mundur
tidak menjadi bagian budaya kita mungkin bisa dikembalikan dari bagaimana
sebuah jabatan berasal. Kita tahu, "jabatan" dan "pejabat"
telanjur menduduki tempat mulia, tetapi sering diperoleh dengan cara tak wajar.
Orang menjabat bukan karena ingin mengabdikan tenaga dan pikiran untuk
membangun, tetapi untuk membangun diri dengan sedikit tenaga dan pikiran.
Akibatnya, pejabat pasti enggan mundur karena dalam jabatan ada sejuta potensi
untuk memperkaya diri, anggota, dan kelompoknya. Jabatan dilihat sebagai
sesuatu yang "sakral" di mana penghormatan dan sujud diberikan.
Pejabat melihat dirinya tidak dalam kapasitas wajar dan normal atas kemampuan
yang dimiliki, tetapi terjebak pandangan kekuasaan.
kehilangnya Rasa Malu
Menurut Jalaluddin Rakhmat
(Fajar, 14/2), kita gagal menjadi bangsa besar karena kita kehilangan rasa
malu. Jepang menjadi bangsa kokoh karena memiliki budaya malu yang amat tinggi,
Padahal, malu adalah nilai moral paling utama yang mengendalikan perilaku moral
masyarakat meski tanpa aturan tertulis.
Saat ini rasanya jarang sekali kita melihat elit
politik ataupun pajabat melakukan
seperti yang dilakukan oleh Hatta sebalikya, tidak jarang terjadi perbedaan
pandangan politik justru melahirkanperepcahan anatara partai ataupun polemik
media, yang ujung – ujungnya sama – sama berniat mempertahakan kekuasaan yang diraihnya.
Maka, tak ada alasan, mundur dan diganti adalah sebuah aib.
Semua berujung pada pergantian pejabat. Artinya tetap ada kesadaran, kegagalan
harus diikuti penggantian. Tetapi mengapa masih sulit mengakui kegagalan dengan
mengedepankan kesadaran diri dengan pemikiran mungkin ada yang lebih baik yang bias
menggantikan tugas-tugasnya?
Bangsa ini membutuhkan teladan yang baik dari pejabatnya.
sumber :: kompas