Oleh: Sofa Nurdiyanti*
“Selesaikan konflik yang ada dengan mulai bicara. Diam saat marah baik, tetapi diam setelahnya dan tak menyelesaikan masalah, justru semakin memperburuk keadaan.”
Selama ini, orang tentu akrab pada peribahasa “Diam itu emas”. Tetapi menurut saya bicara itu berlian, terutama setelah Anda marah.
Diam akan jadi emas apabila pembicaraan yang kita lakukan tidak tepat, tidak diperlukan, dan bersifat bohong. Maka, diam adalah pilihan yang tepat. Namun, ada kalanya bicara merupakan langkah konkret yang harus kita lakukan. Istilah kerennya yang sering kita dengar adalah take action. Take action untuk mulai bergerak dan melakukan tindakan.
Bicara itu bukan hanya perlu, tetapi wajib apabila dilakukan di saat yang tepat. Apalagi saat kita berkonflik dan perlu menyelesaikan sebuah masalah, terlebih berhubungan dengan diri kita. Jika kita diam saja, masalah tidak akan selesai dengan sendirinya. Kita perlu mengungkapkan apa yang menjadi permasalahan kita dengan orang lain. Dengan begitu orang lain akan tahu dan tergerak juga untuk menyelesaikannya secara bersama dengan kita.
Ada sebuah pengalaman pribadi yang tidak mengenakkan saat seseorang mengambil sikap diam. Suatu saat saya sedang mengalami masalah dengan sahabat saya, tepatnya saya membuatnya marah. Namun, ia tak pernah mengatakan sesuatu, hanya diam. Dan, tentu saja ini tidak mengenakkan. Semuanya jadi serba salah. Saat saya mencoba bicara dan meminta maaf serta berusaha menyelesaikan masalah pun tak mendapatkan respon. Tabiatnya memang tidak banyak berubah. Jika kami berkonflik pun, dia akan cenderung diam dan membiarkan masalah kami berlarut-larut.
Bagi saya, menyelesaikan masalah merupakan hal yang penting. Jika tidak, saya tidak bisa berfokus pada yang lain. Namun, hal ini menjadi pelik jika kita berhadapan dengan seseorang yang merasa tidak mempunyai masalah, terlebih memilih diam. Jengkel sekali jika mengingat hal itu hehehe.... Tiap orang memang mempunyai cara tersendiri dalam bersikap. Dan, kita tidak bisa menggugat mereka jika kita tidak merasa nyaman. Kitalah yang harus belajar menyeimbangkan ritme dengan mereka, kalau tidak bisa rugi kita hehehe.…
Ritme dalam arti cara lain untuk mengatasi masalah dari diri kita, jika kita tidak bisa mengharapkan perubahan sikap dari orang lain. Hal ini dilakukan sebagai salah satu bentuk penyesuaian perilaku dalam lingkungan yang berbeda dengan diri kita. Seseorang idealnya mempunyai ketahanan diri yang baik. Contohnya, seseorang mampu menyeimbangkan idealisme atau harapannya dengan kenyataan. Jika seseorang tidak mempunyai sikap mental yang bagus, maka ketika harapannya tak tercapai, ia akan jadi pribadi yang rapuh dan sulit menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Hal inilah yang sering kali menyebabkan seseorang menjadi stres.
Entah kenapa beberapa orang yang saya kenal punya sikap yang sama, memilih diam dan menganggap tidak ada masalah. Bagi mereka, hal itu merupakan langkah yang tepat. Terlebih melihat saya yang mempunyai sikap yang perasa. Ada yang pernah bilang diam lebih baik daripada mereka menyakiti saya saat bicara. Tetapi, saya justru punya pendapat lain. Bagi saya diam adalah hukuman yang paling menyakitkan daripada ungkapan kasar secara verbal. Ini tidak berarti saya suka dimaki atau mendengar perkataan kasar, tidak sama sekali. Justru sebaliknya, saya suka orang yang berkata lembut, ramah, dan memotivasi orang lain. Namun, jika ada masalah, lebih baik dibicarakan daripada didiamkan.
Saya rasa, membicarakan masalah walaupun itu menyakitkan jauh lebih baik daripada diam. Diam tak kan menghasilkan apa pun. Kita tidak akan pernah bisa mengetahui kesalahan kita secara pasti dan belajar memperbaikinya. Mungkin saja pihak lain merasa ada sesuatu yang tidak beres dan semakin bingung jika kita mengambil sikap diam. Sebaliknya, jika orang lain berbicara tentang kesalahan saya, mungkin saya akan merasa tidak enak sesaat, malu sekaligus merasa bersalah. Tetapi setelahnya, saya akan lebih berhati-hati dan menjaga sikap. Karena, saya sudah diberitahu bahwa saya telah melakukan kesalahan.
Mungkin, ada orang yang berpendapat bahwa diam merupakan langkah yang tepat saat marah, saya pun setuju. Tetapi, diam setelah kemarahan mereda dan tidak menyelesaikan permasalahan kita, saya tidak setuju! Kenapa?
Ada banyak hal yang perlu kita pertimbangkan:
1. Diam tak mengubah keadaan. Saat kita memutuskan untuk diam, saat emosi sudah stabil, barangkali tidak berguna. Kenapa? Karena masalah tetap ada, tak beranjak pergi dari kita. Mungkin saja masalah kita tak kan pernah diketahui oleh pihak yang bersangkutan. Kita mungkin berpikir, diam lebih baik dan bersikap mengalah merupakan tindakan terpuji. Namun, hal ini hanya akan menjadi bom waktu yang sewaktu-waktu bisa meledak, jika kita tak pandai-pandai menyalurkan kemarahan yang terpendam tadi.
2. Belajar dari kesalahan. Dengan memberitahu apa yang menjadi permasalahan kita, maka kedua belah pihak dapat belajar bersama. Hal ini meminimalisir kita untuk melakukan kesalahan yang sama di kemudian hari. Dengan begitu, hubungan kedua belah pihak diharapkan dapat berjalan dengan harmonis. Hal ini berbeda jika kita mengambil sikap diam, mungkin saja pihak yang lain tidak menyadari kesalahannya. Dan, hubungan pun akan terasa hambar Karena salah satu pihak merasa dirugikan.
3. Win-win solution. Kedua belah pihak dapat kesepakatan yang saling menguntungkan bagi keduanya. Tentunya, masing-masing pihak harus berbesar hati untuk sedikit mengalah agar tercapai kesepakatan bagi kedua belah pihak. Kesepakatan ini tentunya lebih dihargai dan ditaati oleh kedua belah pihak. Membuat kesepakatan merupakan salah satu langkah konkret penyelesaian masalah.
Tiga hal di atas merupakan pemikiran mendasar bagi saya untuk memilih bicara daripada diam. Mungkin, Anda mempunyai pemikiran yang berbeda daripada saya, sah-sah saja hehehe.... Sekali lagi, setiap orang berhak berpendapat dan utarakanlah pendapat Anda kepada orang lain. Tidak ada yang salah selama kita berani mempertanggungjawabkannya.
Apalagi di zaman sekarang semua orang bebas berpendapat, selama tidak melanggar hak-hak orang lain. Kita juga tidak perlu takut akan kritik dari orang lain. Dan jika kita masih diam, menyimpan masalah sendiri, alangkah ruginya kita. Tak akan ada perbaikan berarti di kemudian hari. Setiap masalah merupakan tantangan dalam hidup seseorang. Kita akan belajar tentang satu hal (penyelesaian masalah) sekaligus meningkatkan kualitas kehidupan kita.
Ada pula yang beranggapan, semestinya dengan bertambah umur kita harus menyadari kesalahan yang dibuat dan melakukan refleksi terhadapnya. Tetapi, saya rasa ini tidak bisa berlaku bagi semua orang. Dibutuhkan kepekaan dan kesadaran yang tinggi agar seseorang bisa menyadari kesalahannya. Dan, satu-satunya cara untuk menyikapi permasalahan dengan bijak adalah membicarakannya secara langsung dengan pihak yang bersangkutan. Dengan demikian akan diperoleh sudut pandang yang berbeda. Bisa jadi menurut orang lain hal itu bukan kesalahan karena ia belum mengetahui apa yang seharusnya dilakukan. Dan, ketika hal ini dibicarakan bersama, semuanya akan terasa jauh lebih mudah. Kesalahan maupun kesalahpahaman dapat dijernihkan kembali dengan bicara. Bicara itu berlian, setujukah Anda? Hamasah!!![sn]
* Sofa Nurdiyanti adalah mahasiswa Psikologi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Suka baca buku cerita, nonton kartun Detective Conan, Bintang, dan tertarik dengan bidang sejarah, arkeologi, bahasa, budaya, dan politik. Tetapi, sekarang ia lagi “nyasar” ke bidang psikologi. Nur aktif menulis di sejumlah website kepenulisan seperti AndaLuarBiasa.com, Pembelajar.com, dan AndrieWongso.com. Saat ini ia tengah semangat berlatih untuk menjadi penulis dan trainer. Nur dapat dihubungi melalui pos-el: nurrohmah_06[at]yahoo[dot]com.