intelektual menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990), diartikan sebagai “cerdas; berakal; dan berpikiran jernih berdasarkan ilmu pengetahuan”, dan “(yang) mempunyai kecerdasan tinggi; cendikiawan”. Kata ini berasal dari “intelek” yang berarti “daya atau proses pikiran yang lebih tinggi yang berkenaan dengan pengetahuan; daya akal budi; kecerdasan berfikir”, dan “(kaum) terpelajar; cendikia”. Maka, intelektual adalah kaum terpelajar yang memiliki kecerdasan, dan berhubungan dengan pendaya-gunaan kecerdasannya untuk perbaikan masyarakat.
Menurut George A. Theodorson dan Archiles G; intelektul adalah masyarakat yang mengabdikan diri kepada pengambangan gagasan orisinil dan terlibat dalam usaha intelektual kreatif. Menurut Shils, sosiolog Barat yang terkenal, intelektual adalah orang yang terpilih dalam mesyarakat yang sering mengunakan simbol-simbol bersifat umum dan rujukan abstrak tentang manusia dan masyarakat.
Menurut Prof.Dr.Ganjar Kurnia, intelektual itu adalah seorang yang memilki kesadaran tingkat tinggi, dan itulah yang disebut dalam Alquran dengan istilah ulil albab. Seorang ulil albab/intelektual dalam Islam adalah orang yang mampu menumbuhkan rasa tanggung jawab dan kesadaran bukan hanya kepada dirinya, tetapi juga kepada masyarakatnya, sekaligus memberi arah terhadap perubahan ke arah yang yang lebih baik (kualitas) bagi diri dan masyarakatnya.
Intelektual menurut Tb.Bottomore (1964 ), kaum intelektual adalah sekelompok kecil dalam suatu masyarkat yang kehadirannya mampu memberikan kontribusi kepada pembangunan, transmisi, dan kritik gagasan. kriteria kaum intelektualitas tidak terbatas pada gelar – gelar akademik atau perolehan ijazah di perguruan tinggi. Mereka berasal dari berbagai latar belakang keilmuan dan status sosial.
Jadi kesimpulan yang saya ambil adalah, intelektual merupakan sekelompok kecil manusia yang memiliki kecerdasan tinggi dan sebagai motor perubahan dalam sebuah masyarakat untuk menuju perubahan ke arah yang lebih baik serta tidak terbatas pada gelar –gelar akademik.
Faktor penyebab hilangnya intelektual kaum muda
Banyak faktor penyebab atas terjadinya problem yang sedang dihadapi oleh pemuda negeri ini seperti ; film ( seri ) TV dengan telenovela yang sering menawarkan gaya hidup permisif, yang kemudian ditiru remaja kita yang tengah mencari identitas diri, struktur masyarakat yang timpang, kesenangan sosial, sulitnya memperoleh pendidikan yang murah dan bermutu, sulitnya mencari kerja, dan mencari nafkah, kurangnya pendidikan agama dalam keluarga, langkanya pemimpin yang bisa dijadikan panutan, dan yang mungkin kurang disadari adalah sifat bawaan mereka yang - meminjam setelah Dr. sudjoko – krocojiwo, yakni sifat rendah diri dihadapan bangsa – bangsa barat yang kita kagumi dan gemar meniru sikap, perilaku dan penampilan mereka. Barangkali, peniruan membabai buta itu kita lakukan karena kita adalah bangsa yang pernah di jajah barat, sehingga akibatnya bangsa kita rendah diri dan kita pun, baik sadar maupun tidak, mewarisi sifat tersebut.
Agaknya benar juga sinyalmen ibnu khaldun, sisiolog muslim abad ke -14 yang menulis buku muqaddimah yang monumental itu bahwa, “ orang takalukan selalu mengikuti penaklunya, baik dalam pakaian, perhiasan, kepercayaan, dan adat istiadat lainnya. Hal ini disebabkan adanya keinginan untuk menyamai mereka yang telah mengalahkan dan menaklukkannya. Orang – orang taklukan menghargai para penakluknya secara berlebihan. Kalau keyakinan ini bertahan lama, hal itu akan membekas dalam dan lama dan akan membawa pada peniruan semua cirri penakluknya. Mereka itu yakin bahwa peniruan atas segalnya yang dilakukan seng penakluk akan menghapus segala penyebab kekalahannya.”
Peniruaan terhadap barat ini dapat kita lacak, mulai dari penggunaan nama pribadi ( yang berbau barat ):perayaan hari kasih saying valentine ( bukannya hari pronocitro dan roromendut yang telah melegnda di jawa ), hingga ke pakaian ( yang pria memakai anting – anting sebelah, yang wanita berpakaian yang mengumbar aurat, misalnya paha, dada, atau pusatnya kelihatan ). Karena terlalu lama, peniruan itu kita anggap lumrah. Bahkan kita bertanya pada diri sendiri, mengapa kita melakukan semua itu. Orang pun mungkin berkilah, “ tidak relevan lagi membedakan barat dan timur pada zaman global ini, karena itu tidak perlu mempermasalahkan peniruan timur oleh barat.
Begitu menumpuk problematika yang sedang dihadapi oleh kaum muda, mulai dari yang paling kecil hingga yang paling besar. Kaum muda juga tersemat dengan begitu banyak sloganitas yang melekat pada diri pemuda seperti agent of change, iron stock atau lainnya. Tapi pada keyataan itu hanya teriakan – teriakan kosong yang kebenaran aplikasinya masih dipertayakan.
Padahal Sejarah telah menunjukan bahwa generasi muda/mahasiswa khusunya senantiasa memegang peranan penting dalam perubahan kehidupan berbangsa dan bernegara ini. Bagaimana peran seokarno, hatta, dan natsir dalam perjuangan kemerdekaan bangsa indonesia. Kita juga tidak lupa romantika perjuangan generasi’66 yang mengharu biru proses transisi dari orde lama menuju orde baru, dan sejarah pun terulang , soeharto penguasa terlama negeri ini pun ditumbangkan oleh pemuda, terutama mahasiswa generasi’98.
jadi masih pantaskah mahasiswa atau kaum muda di sebut kaum intelktual?? Kaum yang membela kaum tertindas dan sebagai agent perubahan ke arah yang lebih baik..??