oleh :
Inggar Saputra
Pengurus Pusat Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (PP KAMMI)
Analis Institute Reform For Sustainable (Insure)
Apabila negeri mulai karam
Itulah bertanda nahkoda kurang paham
Apabila bangsa mulai terpecah
Itulah bertanda nahkoda tak punya arah
Apabila negeri tak maju
Itulah bertanda nahkoda kurang berilmu
(Gurindam Nahkoda Bangsa, Ibnu Amsar Al-Bonai)
Apa yang terbayangkan ketika bicara perpustakaan? Umumnya citra perpustakaan adalah sebuah gedung tua, ruangan kaku, sepi, membosankan, dan tiap sudutnya dipenuhi buku yang ketinggalan zaman. Tidak mengherankan banyak mahasiswa dan pelajar malas berkunjung. Maka, terbentuklah opini perpustakaan hanya menarik bagi kalangan pencinta buku atau kutu buku.
Fenomena tersebut tentu meninggalkan keprihatinan mendalam. Perpustakaan sebagai sumber informasi belum menjadi tempat menarik. Banyak mahasiswa lebih betah nongkrong di mall dibandingkan perpustakaan. Akibatnya, minat dan daya baca manusia Indonesia sangat rendah.
Minimnya perpustakaan sangat mempengaruhi minat baca. Repotnya, berdasarkan survei Unesco, minat baca masyarakat Indonesia terendah di ASEAN. Dari 39 negara di dunia, Indonesia menempati posisi ke-38. Tidak kalah memprihatinkan, data UNDP menunjukkan posisi minat baca Indonesia berada di peringkat 96, sejajar dengan Bahrain, Malta, dan Suriname. Sementara untuk kawasan Asia Tenggara, hanya ada dua negara dengan peringkat di bawah Indonesia, yakni Kamboja dan Laos yang masing-masing berada di urutan angka seratus.
Wisata Buku
Persoalan membaca selama ini meninggalkan masalah besar bagi kemajuan suatu bangsa. Sebab, semakin rendah kebiasaan membaca, penyakit kebodohan dan kemiskinan berpotensi mengancam eksistensi bangsa tersebut. Kita sudah melihat bagaimana kemajuan perkembangan IPTEK Jepang. Hal ini disebabkan karena pemerintah Jepang memprioritaskan kebutuhan bahan bacaan dan menarik minat masyarakat mengungujungi perpustakaan.
Salah satu upaya menarik minat baca adalah mengembangkan konsep wisata buku. Sebuah konsep untuk membangun citra perpustakaan sebagai wahana kreatif, imajinatif, menyenangkan dan berbasis teknologi. Tentu tidak menghilangkan warna ilmiah sebagai bahan dasar membentuk intelektualitas pengungjungnya.
Mengutip Buya Hamka, “Dengan seni hidup menjadi indah, dengan ilmu hidup menjadi mudah dan dengan agama hidup terarah” Ilmu membantu manusia menjadi mudah menjalankan aktivitas. Kepadatan ilmu diwariskan tradisi membaca. Membaca membutuhkan buku, buku dapat ditemukan salah satunya di perpustakaan.
Rasanya, perlu diberikan stimulus untuk meningkatkan potensi perpustakaan, yaitu:
Pertama, penambahan koleksi jurnal dan buku harus mendapatkan akses terbaru. Ditemukan berbagai penemuan baru yang terus diproduksi setiap detik. Apalagi, zaman superhighway information menuntut manusia membaca pengetahuan dan informasi terbaru. Naif rasanya di tengah percepatan IPTEK, kita masih mengandalkan sumber bacaan yang ketinggalan zaman. Apalagi di masa mendatang, sudah bermunculan digitalisasi buku sebagai pengganti buku berbahan kertas.
Kedua, perbaikan fasilitas dan jasa. Perpustakaan perlu diubah dengan memahami karakter dan kebiasaan pengunjung. Perpustakaan hendaknya menyediakan sofa dan karpet untuk pembaca lesehan agar lebih santai. Selain itu, untuk membangun suasana nyaman, lengkapi perpustakaan dengan fasilitas pendingin ruangan. Apabila perpustakaan bertingkat, sebaiknya sediakan fasilitas lift untuk memudahkan arus perpindahan pengunjung antar tingkat.
Pelayanan jasa perpustakaan juga harus diperhatikan. Misalnya pembuatan kartu perpustakaan dalam waktu cepat dan tidak menyulitkan mahasiswa atau pelajar. Adanya pungutan biaya yang tidak perlu oleh sejumlah pihak perpustakaan, mengindikasikan adanya tindak korupsi.
Ketiga, sosialisasi perpustakaan ke semua kalangan untuk melepaskan citra perpustakaan yang terbatas untuk kutu buku. Sudah menjadi tugas strategis pemerintah, perpustakaan, dan pihak swasta. Jika masyarakat sudah mencintai buku, membaca, dan perpustakaan, percepatan kemajuan Indonesia Indonesia tinggal menunggu alarm kebangkitan.
Promosi perpusatakaan dapat dilakukan dengan banyak acara yang melibatkan massa dalam jumlah banyak. Misalnya seminar, workshop, bedah buku, dan pameran.
Bagaimanapun membaca adalah sebuah tradisi intelektual orang besar negeri ini. Soekarno, Hatta, Buya Hamka, dan Natsir memiliki tingkat kematangan intelektual, spritual dan emosional karena banyak membaca. Untuk meningkatkan kemampuan membaca, pemerintah harus mulai mengarusutamakan perpustakaan sebagai ruang baca terbaik masyarakat.