oleh : Sofistika Carevy Ediwindra
Jika ditilik di akun FB grup Pengurus KAMMI se-Indonesia, ada dua hal yang pasti dibanjiri respon para aktivis fesbuker. Tentang pembagian file tertentu atau tentang kedekatan jalinan KAMMI dan PKS.
Hal terakhir diakui menjadi bahasan ‘basi’ namun tetap saja ada pihak yang mengangkatnya dan mengomentarinya. Jika terdapat sharing file dari kader yang menghendaki pencantuman alamat email mencapai lebih dari dua ratus komentar, komentar tentang KAMMI-PKS sempat menembus angka mendekati seratus. Jauh lebih kecil memang, namun tetap saja dapat dikategorikan sebagai postingan laris.
Di sini saya tidak akan mengejawantahkan duduk perkara KAMMI-PKS. Menjelaskannya pun mungkin hanya akan menimbulkan ambiguitas lantaran kemampuan saya yang terbatas.
Tarik ulur unjuk komentar terhadap postingan yang kerap mempertanyakan apakah KAMMI itu PKS atau PKS itu KAMMI sering berlangsung alot. Tak jarang terdapat adu respon yang beraura mendebat satu sama lain.
Beberapa mengungkapkan fakta sejarah independensi KAMMI dari parpol berlogokan dua bulan sabit, padi, dan Ka’bah itu. Yang lain menimpali dengan kenyataan bahwa tak selayaknya menafikan hubungan non-struktural yang kuat antar keduanya; ibarat ayah dan anak, murabbi dan mutarabbi.
Pihak luar sebagai pengamat, sering mempermasalahkan hal ini. Dosen saya bahkan mengecam terang-terangan beberapa dari kami (mahasiswa) untuk tidak terlibat dalam KAMMI yang secara nyata ditunggangi parpol hitam kuning putih itu.
Sekali lagi, di sini bukan tempat saya mengungkapkan apakah memang KAMMI itu bagian dari PKS sedang dalam paradigmanya ia mengambil asas gerakan sosial independen terhadap kekuatan politik/partai apapun. Yang menjadi latar belakang kenapa saya mengangkat tema ini yakni lantaran keunikannya yang mampu menyedot perhatian banyak kalangan, termasuk kader KAMMI itu sendiri.
Hingga saat ini, memperdebatkan hal itu bukanlah suatu hal bijak jika berujung pada perseteruan dan upaya saling menjatuhkan. Tidak semua kader KAMMI terlibat dalam parpol yang mengusung Hidayat Nur Wahid menjadi DKI-1 ini.
Jika pun terdapat kader KAMMI yang beririsan dengan partai ini pun tak menjadi masalah selama paradigma sosial independen tetap dikedepankannya. Yang perlu dijadikan atensi lebih adalah kontribusi apa yang KAMMI mampu berikan dalam usianya yang genap 14 tahun. Ibarat manusia, tahun ke-14 adalah masa meremaja namun telah memiliki jati diri yang lebih siap. Ia adalah masa berpikir kritis dan analitis, mampu menyerap hal abstrak, dan menginternalisasi lebih dalam makna hal-hal di sekitarnya.
Tahun ini KAMMI mesti banyak menyegarkan lagi aplikasi gerakannya. Tak perlulah menonjolkan sangat perdebatan dan keangkuhan diri dalam gerakan. Masyarakat dan negara kini membutuhkan sentuhan nyata da’i dan gerakan da’wah yang muda, bermanfaat, dan berkelanjutan.
Budaya diskusi memang sangat perlu untuk diruncingkan dari waktu ke waktunya. Sebagai kader KAMMI, selayaknya mampu teladankan langsung diskusi seperti apa yang sehat dan bermanfaat. Diskusi apa yang merekatkan, bukan menjatuhkan.
KAMMI hanyalah sarana kecil untuk melangsungkan laju da'wah Islam sebagai misi perjuangan utama para da'i. Tidak pada tempatnya mengagungkan tempat kecil ini hingga justru memecah belah kita. Bijaknya, sarana ini menjadi wahana akselerasi da'wah tanpa campur tangan keangkuhan dan fanatisme buta.
Semoga KAMMI kian mantap dalam pijakannya mencetak pemimpin muda yang tangguh untuk Islam dan Indonesia yang jaya.
Wallahu a’lam bish shawab.