Sebentar lagi kita memasuki tahun 2011. Pemerintah optimis ekonomi tahun depan akan lebih baik. Tentu saja ukuran yang digunakan adalah pertumbuhan ekonomi yang diprediksi mencapai 6,4%, melanjutkan pencapaian tahun 2010. Apalagi, menurut Presiden SBY dalam pidatonya di Jawa Timur, pertumbuhan ekonomi Indonesia menduduki peringkat ketiga di G-20 setelah China dan India.
Bila menggunakan indikator pertumbuhan ekonomi, klaim tersebut tidak salah. Pertumbuhan ekonomi 2010 yang hingga kuartal ketiga mencapai 5,9%, memang lebih tinggi dari target tahun ini yang sebesar 5,8%. Apalagi indikator keuangan tahun 2010 telah mencetak rekor baru karena Bursa Efek Indonesia mencatat kenaikan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) tertinggi di dunia dari 2,575 pada awal tahun, menembus 3.600 pada Desember tahun ini.
Indikator keuangan lainnya, seperti cadangan devisa dan penguatan nilai tukar rupiah juga menunjukkan peningkatan luar biasa dari hanya sekitar 51 miliar dollar AS menjadi lebih dari 90 miliar dollar AS pada akhir tahun 2010. Gelombanghot money telah menggelembungkan cadangan devisa dan mendorong penguatan nilai tukar rupiah sebesar 19 %, tertinggi diantara negara-negara Asia.
Prestasi tanpa makna
Namun, seberapa besar manfaat dari kinerja keuangan yang kinclong bagi ekonomi Indonesia? Di negara manapun ukuran keberhasilan ekonomi bukan pencapaian sektor keuangan. Buktinya, sejak awal tahun, hampir semua negara sibuk memainkan kebijakan di sektor keuangan yang tujuan utamanya untuk menggerakkan sektor riil, seperti misalnya melemahkan nilai tukarnya. Baik negara-negara maju dan berkembang juga terus berupaya menurunkan suku bunganya hingga mendekati nol agar dapat mendorong sektor riil dan mengurangi pengangguran.
China misalnya, terus berusaha melakukan manuver untuk menghindar dari tekanan AS dan negara-negara Eropa yang berkeinginan agar Bank Sentral China mempercepat apreasiasi nilai tukar yuan karena kebijakan fleksibel yang dijalankan sejak pertengahan tahun dinilai belum maksimal. Tentu tidak akan gampang bagi China dan juga negara berkembang lain untuk menuruti tuntutan tersebut karena strategi nilai tukar lemah merupakan benteng pertahanan bagi industri pengolahan. Apreasiasi yuan terhadap dollar AS tentu akan mengerek harga dan menekan daya saing produk ekspor China. Sementara bagi China, industri pengolahan sangat strategis karena menjadi andalan dalam menciptakan lapangan kerja. Menurunnya daya saing industri akan membahayakan stabilitas sosial politik negara dengan penduduk lebih dari 1,3 miliar.
Sangat mengherankan bila selama tahun 2010 Indonesia justru mengambil arah kebijakan yang berbeda dengan tren kebijakan negara-negara di dunia. Rupiah yang menguat justru dinilai sebagai kekuatan. Melambungnya IHSG juga dianggap prestasi, padahal telah ada ancaman terjadi financial bubbles. Tren kebijakan sektor keuangan tidak terintegrasi dengan strategi dan kebijakan di sektor riil. Sehingga tidak ada dasar yang jelas mengapa nilai tukar harus kuat atau harus dilemahkan.
Bagaimana kebijakan sektor keuangan tahun 2011? Dipastikan kebijakan keuangan tahun 2010 akan berlanjut dan tidak akan ada perubahan mendasar. Pemerintah dan Bank Indonesia tidak akan melakukan kontrol terhadap terus berlanjutnya banjir dana dari pasar uang global yang mencari tempat investasi paling menguntungkan. Dengan kebijakan keuangan yang longgar, bahkan cenderung membiarkan dan bahkan mendorong masuknya hot money, Indonesia akan tetap menjadi surga bagi investasi portfolio dunia.
Intervensi dari negara-negara maju maupun lembaga multilateral agar Indonesia tetap mempertahankan kebijakan sektor keuangan yang sangat longgar, tentu akan terus terjadi lewat berbagai cara karena Indonesia menjadi semakin penting. Alasannya karena sejak awal 2010 banyak negara telah menerapkan berbagai kebijakan kontrol terhadap masuknya dana-dana jangka pendek. Di Thailand misalnya, pemerintah telah memberlakukan withholding tax baik untuk bunga maupun capital gain yang diterima asing. Di Brasil yang telah menaikkan pajak bagi investor asing yang membeli obligasi domestik. Sedangkan di Korea Selatan, pemerintahnya bahkan telah melakukan pelarangan untuk menarik pinjaman dengan mata uang asing dan menurunkan porsi utang luar negeri.
Konsekuensi dari kebijakan untuk mempertahankan suku bunga dan imbal hasil obligasi yang tinggi adalah kepemilikan asing di SUN, SBI dan saham akan terus meningkat seperti tren saat ini. Bila tahun 2008 total dana asing hanya sebesar Rp 548 triliun, menjadi Rp 1374 triliun tahun ini, pada tahun 2011 dipastikan akan jauh jauh lebih besar. Padahal, selain ancaman terjadi pembalikan modal, ongkos yang harus dibayar oleh ekonomi akibat besarnya kepemilikan asing sangat mahal. Modal Bank Indonesia akan terus tergerus, biaya modal swasta akan semakin mahal akibat tingginya suku bunga kredit maupun imbal hasil dari obligasi yang diterbitkan.
Tuntutan perubahan
Dituntut adanya perubahan arah kebijakan ekonomi yang cukup fundamental dari kabinet Presiden SBY. Keberanian untuk melakukan kontrol terhadap potensi membanjirnya modal jangka pendek di tahun 2011 menjadi strategi yang penting. Sebagaimana telah dilakukan oleh banyak negara, Indonesia harus segera menerapkan kontrol dana-dana asing jangka pendek baik lewat pajak, pembatasan pinjaman luar negeri, instrumen yang akan mengalihkan investasi jangka pendek ke jangka panjang, dll.
Perubahan kebijakan di sektor juga menjadi tuntutan karena ongkos mahal dari kebijakan keuangan saat ini juga harus dibayar oleh ekonomi dengan rendahnya kinerja sektor riil. Tanpa perubahan kebijakan di sektor keuangan, maka kinerja sektor riil tahun 2011 tidak akan ada perbaikan signifikan dibanding tahun 2010. Padahal, sebagaimana enam tahun terakhir, tahun 2010 pertumbuhan tiga sektor utama ekonomi yakni pertanian, pertambangan dan pengolahan, yang menjadi lapangan usaha utama penduduk dan menyerap 52% lapangan kerja hanya tumbuh 3,5 %, jauh di bawah pertumbuhan ekonomi.
Kinerja sektor riil yang lambat, berdampak pada tidakmampuan dalam menyediakan lapangan kerja yang cukup sehingga menghambat penyelesaian masalah pengangguran yang cukup serius. Memang angka pengangguran terbuka tahun 2010 menurun. Tetapi jumlah orang setengah menganggur masih sebanyak 32,8 juta. Sementara data BPS menunjukkan bahwa selama enam tahun Kabinet Indonesia Bersatu, dari 12,2 juta lapangan kerja yang tercipta, 41 % diantaranya adalah usaha jasa kemasyarakatan (termasuk di dalamnya organisasi politik, jasa reparasi, kebersihan, binatu, dll), bukan pada sektor-sektor yang akan mendorong produktivitas dan nilai tambah tinggi.
Buruknya realisasi APBN 2010 juga telah menjadi salah satu penyumbang penting terhambatnya kemampuan penyediaan lapangan kerja. Untuk belanja, total realisasi belanja modal hingga bulan November baru sebesar 38%, terendah selama 6 tahun pemerintahan SBY. Realisasi yang lamban dari pengeluaran pemerintah inilah yang menyebabkan absennya stimulus ekonomi dan lambannya penciptaan lapangan kerja. Hal yang sama juga terjadi pada sisi penerimaan yang hingga November 2010 baru mencapai 77,7%, lebih rendah dari kinerja pada periode yang sama tahun lalu.
Rendahnya kinerja dalam penciptaan lapangan kerja tentu akan semakin menyulitkan upaya pengentasan kemiskinan. Memang angka kemiskinan telah turun menjadi 13,3% tahun ini dan target 11,5-12% tahun 2011 sangat mungkin tercapai. Tetapi berkurangnya jumlah orang yang berada di bawah garis kemiskinan yang hanya sekitar 1,5 juta orang, tidak sebanding dengan peningkatan anggaran pengentasan kemiskinan yang sangat besar dari hanya Rp 66 triliun (2009) menjadi Rp 94 triliun (2010).
Belum lagi jumlah penduduk yang berada sedikit di atas garis kemiskinan sangat banyak. Data Bank Dunia menyebutkan bahwa 42% penduduk Indonesia, sekitar 100 juta orang, tergolong near poor. Kelompok ini memiliki tingkat kesejahteraan yang rendah dan sangat rentan terhadap kenaikan biaya untuk pemenuhan kebutuhan dasar terutama makanan.
Oleh karenanya, kegagalan pemerintah dalam mengendalikan harga bahan makanan dan makanan pada tahun 2010 seharusnya menjadi alasan penting untuk berani melakukan perubahan. Beban masyarakat selama 2010 semakin berat karena harga sembako mengalami kenaikan harga sejak awal tahun. Tidak hanya beras yang melejit dari sekitar Rp 5000 menjadi lebih dari Rp 7000 per kilogram di akhir tahun, tetapi inflasi juga terjadi pada gula, terigu, telur, dll. Kondisi ini menekan daya beli tidak hanya masyarakat miskin tetapi juga kelas menengah bawah.
Tahun 2011 Indonesia akan menghadapi krisis pangan dan energi dunia. Perubahan iklim akan menurunkan pasok pangan teruama beras di pasar dunia. Liberalisasi pangan dan minimnya peran pemerintah sejak krisis terbukti mengakibatkan harga pangan semakin sulit dijangkau masyarakat. Tidak ada pilihan bagi pemerintah SBY kecuali berani melakukan koreksi kebijakan pangan. Strategi stabilisasi harga pangan dengan peran pemerintah yang lebih besar menjadi keharusan bila Presiden SBY tidak ingin ekonomi dan stabilitas sosial politik tahun 2011 terancam.
Oleh karenanya terobosan yang dilakukan untuk mendorong kinerja APBN tidak sekadar mendorong angka realisasi lebih cepat dan tinggi. Namun perlu perubahan dalam politik anggaran sehingga APBN tidak sekadar kumpulan alokasi dana untuk menstimulus laju ekonomi, tetapi juga sebagai alat politik untuk menjaga tingkat kesejahteraan masyarakat dengan melakukan perubahan prioritas.
Sebagai contoh, harus ada ketegasan Presiden SBY untuk mengubah kebijakan stok beras Bulog saat ini dan mengalokasikan dana lebih besar pada APBN untuk menyerap produksi beras dalam negeri. Juga tegas untuk membatalkan rencana pengurangan subsidi BBM di tahun 2011. Selain persiapan kebijakan masih sangat prematur, penghematan anggaran yang diperoleh tidak sebanding dengan ongkos yang akan ditanggung ekonomi lewat dampaknya terhadap daya beli masyarakat dan daya saing ekonomi.
Mari kita tunggu apakah Presiden SBY akan menjadikan kinerja ekonomi 2011 sekadar numpang lewat sebagaimana selama ini atau menjadi momentum perubahan untuk mewujudkan kinerja ekonomi yang berkualitas. ***