Kondisi dunia saat ini mengagungkan demokrasi sebagai sebuah sistem yang paling baik dan memungkinkan untuk dipakai di seluruh negara di muka bumi ini. Sementara, beberapa kalangan mengangap demkrasi berbeda dengan isla, selainnya lagi, berpendapat bahwa islam compatibel dengan demokrasi.
Selama ini, demokrasi di anggap sebagai satu – satunya sistem yang paling bisa mengatasi bisa mengatsai persoalan politik kenegaraan di seluruh dunia. Pemakain demokrasi sebagai sistem pengaturan sebuah negara, menjadikan negara tersebut sebagai negara yang” baik “. Karena demokarasi mengandung kebebasan, persaaan, konsultassi, dan penghormatan HAM. Tentunya – menurut pihak pendukung – hal berlawanan dengan sistem monarki, dikatator, totalirianisme, aristrokasi dan sebagainya.
Perrsaolannya kemudian adalah, kesesuain sistem demokrasi dengan islam yang telah memiliki seperangkat sistem ( al-nudzun ) yang syamil, kamil, dan mutakamil. Dalam hal ini adalah konsep syura yang oleh sebagian kalangan di anngap memiliki nilai – nilai yang kurang lebih dengan demokrasi.
Padahal jika dirunut, keyataan sejarah yang tak terbantahkan adalah bahwa apa yang di kenal dewasa ini sebagai “ demokrasi “, lahir bukan di dunia timur, di mana islam dilahirkan dan dibesarkan. Menurut george kennan” demokrasi adalh suatu bentuk pemerintahan yang berkembang pada abad kedelapan belas dan kesembilan belas di eropa barat (laut)”. Yang demikian itu, menurut ilmuwan politik lainnya, samuel huntington, hanya bisa tumbuh kerena dukungan “ sikap, nilai, kepercayaan, dan pola – polatingkah laku yang berkaitan yang kondusif bagi perkembangan demokrasi.”
Perbedaan mendasar dari sistem pemerintahan barat dengan islam adalah mngenai sejauh mana otoritas manusi dalam memuat hukum. Di barat, mendasarkan segala hal pada otonomi manusia ( free will ).anggap ini membuat manusia menjadi berdaula, bebas sebebasnya untuk membuat hukum tergantung kesepakatan di antara mereka sendiri. Dalam islam, kebebasan manusia dalam membuat hukum dibatasi oleh hal – hal yang telah ditetapkan oleh Allah dan rasulnya.
“ dan tidak patut bagi laki – laki yang mukmin dan tidak pula bagi perempuan yang mukmin, apabia Allah dan rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan yang lain tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata” [ al –ahzab : 36 ]. Jadi apabila barat mengenal bahwa kedaulatan adalah di tangan rakyat, maka menurt islam, kedaulatn berada pada Allah.
Karena manusia tidak berdaulat, maka konstruksi sisiologis imajiner yang oleh hobbes, monstesquieu, dan rosseau disebut sebagai “ kontrak sosial “ tersebut tidak mendapat tempt dalam islam. Dengan demikian, suatu konstitusi atau hukum apapun dalam islam tidaklah dibentuk berdasarkan atas common consent seperti kata oppenheim. Konstitusi dan hukum – hukum dalam islam idasarkan bukan pada kesepaktn semata, melainkan pada otoritas diatanya, yakni Allah.
Secara umum, konsep pluralisme, inklusivisme, toleransi, dan faktor – faktor penegak keaadilan sosial dalam islam merupakan landasan dasr terhadap penghormatan hak – hak asai manusia sebagai kerangka acuan konsep demokrasi. Konsep demokrasi dalam konsep islam yang paling kental terliahat dari prinsip – prinsipnya, yaitu musyawarah ( perundingan ), musawa( kesetaran), dan syura ( konsultasi dalam arti luas ). Prinsip – prinsip ini memiliki tafsiranluass terhadap gagasan demokrasi.
Pmikiran ini memperlihatkan bahwa nilai – nilai islam ini, meskipunbukan ideologi sosialisme murni, memiliki makan yang dalam terhadap penegakkan nilai – nilai keadilan sosial. Bahakan Ali Syariati, salah satu seorang intelektual muslim kontemporer menyatakan bahwa ideologi satu – satunya yang berasakan nilai dan prinsip islam adalah ideologi proletariat, yang dengan dengan gerakan awalnya, nabi muhammad berusaha membebaskan kaum mustadl’afin ( orang – orang miskin dan tertindas) dari sekat – sekat budaya primordial serta beruasaha lapeas dari kekuasaan tirani yang sewenang – wenang. Ini merupakan salah satu dasr yang prinsipal dalam peran islam. Dan menurutnya kembali, disinilah agama islam menjadi gerakan progresif dalam menentang kemungkaran dan membedah status qou. Dan demokrasi menjadi sebuah wadah guna mewujudkan pesan tersebut.
Meski prinsip demokrasi itu lahir di barat dan begitu juga dengan trias politika-nya, namun tidak selalu semua unsur dalam demokrasi itu bertentangan dengan ajaran islam. Ada beberapa hal yang masih sesuai dengan islam. Beberapa dianataranya adalah :pertama, prinsip syura( musyawarah ) yang tetapada dalam demokrasi meski bila deadlock diadakn voting, voting atau pengambilan suara itu sendiri, bukannya sam sekali tidak ada dalam syariat islam. Voting sepat di praktekan dalm proses pengangkatan khulafaur rasyidin.
Kedua, sistem pemilihan wakil rakyat yang secar umum memang mirip dengan prinsip ahlus syura. Memberi suara dalm pemilu sam dengan memberikan kesaksian atas kelayakn calon. Ketiga, adanya pembatasan masa jabtan penguasa. Keempat, sistem pertanggungjawaban para penguas itu di hadapan wakil – wakil rakyat, dan kelima, banyak partai sam kedudukannya dengan banyak mazhb dalam fiqh.
Meski demikain , tetap ad yang jelas –jelas bertentangan dengan syariat islam, yaitu bila pendapat mayoritas bertentangan dengan hukum Allah. Juga praktek – praktek penipuan, pemalsuan dan penyelewengan para penguasa serta kerja sama mereka dengan kemungkaran bersama – sama dengan wakil arakyat. Dan yang paling penting, tidak adanya ikrar bahwa hukum tertinggi yang digunakan adalh hukum Allah swt.
Jika yang dimkasudd dengan dmokrasi-seperti definisi abraham lincoln : dari rakyat untuk rakyat : pengertian itupun ada dalam sistem negara islam dengan pengecualian bahw rakyat harus memahami islam secara keseluruhan. Jika di maksd dengan demokrasi adlah adanya dasar – dasar politik atau sosial tertentu ( misalnya : asas persamaan di hadapan undang – undang, kebebasan berfikir dan keyakinan, realisasi keadilan sosial, atau memberikan jaminan hak – hak tertentu, seperti hak hidup dan bebas mendpatkan pekerjaan). Semua itu telah di jamin dalam islam.
Jika demokrasi sebagai sistem yang diikuti ada pemisahan kekuasaan, itu pun ada dalam islam. Kekuasaan legislatif dengan sistem terpenting dalam sistem demokrasi diberikan penuh kepada rakyat. Sebagai satu kesatuan dan terpisah dari kekuasaan imam atau presiden. Pembuatan undang – undang atau hukum didasarkan pada al – Qur’an. Hadist ijma’ atau ijtihad. Dengan demikian, pembuatan UU terpisah dari imam, bahkan kedudukannya lebih tinggi dari ima, adapun imam harus menaatinya dan terikat dengan UU.
Sementara dalam hal perbedaan islam dengan demokrasi, dhiya’uddin memberiak tiga hal mendasar. Pertama, dalam demokrasi yang sudah populer di bara, definisi “ bangsa “ dibatasi batas wilayah, iklim, darah, suku bangsa, bahasa, dan adat – adatyang mengkristal. Dengan kata lain, demokrasi selalu diiringi pemkiran nasionalisme atau rasialisme yang digiring tendensi fanatisme. Sementara menurut islam, umat tidak terikat batas wlayah atau batasan lainnya. Ikatan yang hakiki di dalm islam adalh iktan aqidah, pemikiran dan perasaan. Siapapun yang mengikuti islam, ia masuk salah satu negara islam terlepas dari jenis, warna kulit, negara, bahasa atau batasan lain. Dengan demikian, pandangan islam sangat manusiawi dan bersifat internasional.
Kedua, tujuan – tujuan demokrasi barat tau demokrasi yang ada tiap masa adalah tujuan – tujuan yang bersifat duniawi atau material. Jadi, demokrasi ditujukan hanya untuk kesejahteraan rakyat atau bangsa dengan upaya pemenuhan kebutuhan dunia yang adapun demokrasi islam – selain mencakup pemenuhan kebutuhan duniawi ( materi ) – mempunyai tujuan spiritual yang lebih utama dan fundamental.
Ketiga, kedaulatan umat ( rakyat ) menurut demokrasi barat adalah kemutkakkan. Jadi, rakyat adalah pemegang kekuasaan tertinggi tanpa peduli kebodohan, kezaliman, atau kemaksiatannya. Namun dalam islam, kedaulatan rakyat tidak mutlak, melainkan terikat dengan ketentuan – ketentuan syariat sehingga rakyat tidak dapat bertindak melebihi batasan – batasan syariat, al –qur’an dan sunnah, tanpa mendapat sanksi.
Menurt islam, kekuasaa tertinggi bukan di tanagan penguasa karena islam tidak sama dengan paham otokrasi. Kekuasaan bukan pula di tangan tokoh – tokoh agamanya karena islm islam bukanlah teokrasi.
Berbeda dengan sejarah barat yang pernah menganut teokrasi. Sejarah gereja memperlihatkan hal ini. Negara – negara eropa terdahulu adalh penganut paham teokrasi, di mana tokoh gereja adlah penentu kebijakan, bahkan para penguasa menggangap keputusan mereka adalah kepuusan tuhan. Namun islam tidak demikian, meski para khulafaur rasyidin adalah para fuqoha dan matang dalam ilmu dinniyyah, mereka tidk menggangap dirinya sebagai wakil tuhan di bumi. Keputusan mereka selalu diambil melalui syura.
Begitupun, kekuasaan tidak di tangan UU karena islam bukan nomokrasi. Juga tidak di tangan umat islam, karena umat islam berbeda dari demokrasi yang sempit. Jawabannya, kekuasaan tertinggi dalam islam sangat nyata sebagai perpaduan dua hal, yaitu uamat dan undang – undang atau syariat islam. Jadi, syriat islam adalah kekuasaan tertinggi.
Muqtedar khan, asisten ilmu politik di adrian college in michigan, memberikan ciri yang berbeda antara demokrasi dalam interprestasi barat dan prinsip syura dalam islam. Pertama, demokrasi memperbolehkan mandeman terhadap teks – teks dasar, tetapi syura tidak. Artinya, yang boleh disepakati adalah hal – hal yang di luar Al-Qur’an dan sunnah.
Kedua, dalam yurisprudensi sejarah islam, pada zaman rasulullah dan empat khilafah, syuro tidak bersifat mengingat. Artunya, syura hayanyalah sebatas konsultasi yang dialkukan raasullullah dan empat khalifahkepada beberapa sahbat terkemuka. Adapun mengenai hasil syura berpulang kepada rasulullah dan emapt khilafah. Contonya adalh mengenai perjanjian hudaibiyah, rassulullah memilih untuk tidak mengikuti pendapat syurq. Sedangkan dalam demokrasi suatu hasil keputusan tidak dapt di anulir olehy eksekuti semata, melainkan harus dianulir lewat proses demokratis pula.
Ketiga, dalam demokrasi tafsiran barat, keseluruhan rakyat dapt berpartisipasi. Mengenai bagaimana syura dilaksanakan merupakan sebuah diskursus tersendiri. Ada ketentuan khusus tentang kapasitas personal ahlul syuro dalam islam. Jenis kelamin, kesukaan dan afiliasi klan ( keluarga ) tidak menjadi faktor agama.
Di sisni bisa di ambil kesimpulan, jika harus memakai istilah demokrasi – tanpa mengabaikan perbedaan substansinya – sistem itu disebut sebagai demokrasi yang manusiawi, menyeluruh( internasional), relidi, etis, spiritual, sekaligus material. Boleh juga disebut demokrasi islam atau menurut abul A’la al- maududi disebut sebagai teo-demokrasi
Menurut amien rais, seperti dikutip andres uhlin ( 1997 ) dalam bukunya oposisi berserak, ada lima prinsip demokrasi dalam islam yakni : pertama, pemerintahanharus dilandaskan pada prinsip pada keadilan. Kedua, sistem politik dilandaskan pada prinsip syura dan musyawarah. Ketiga, terdapat prinsip kesetaraan yang tidak membedakan orang atas status, dasar gender, etnik, warna kulit, sosial dan lain – lain.
Keempat, kebebasan didefinsikan sebagai kebebasan berfikir, berpedapat, pers, beragama, kebebasan dari rasa takut, dan mengadakan gerakan. Kelima, pertaggungjawaban para pemimpin kepada rakyat atas kebejikan – kebijakan mereka. Dan semua ini, menurut amien rais tidak lepas dari check dan balance sebagai kontrolrakyat teerhadap pemimpin mereka. Prinsip – prinsip islam semisal shodaqoh, zakat dan pembelaan terhadap orang – orang miskin dan tertindas merupakan salah satu acuan pemikiran tersendiri yang tak lepas dari pemikiran sosial demokrasi.
Demokrasi seperti itulah yang harus kita fahami bersama. Sebagaimana pandangan makmum hudhaiby ; mursyid ‘Am ikhwanul muslimin setalah mustafa mansyur : “ jika demokrasi berarti rakyat menentukan siapa yanag akan memimpin mereka, ikhwan menerima demokrasi. Namun jika demokrassi berarati rakyat daat mengubah hukum – hukum Allah dan mngikuti pendapat mereka, ikhwan menolak demokrasi. Ikhwan hanya mau terlibat dlam sistem yang memugkinkan syariat islam diberlakukan dan keungkaran di hapuskan.
Menolong , meskipun sedikit masih lebih baikdarpada tidak menolong. Mengenai kebebasan individu, ikhwan menerima kebebasan individu dalam batas – batas yang dibolehkan islam. Namun, kebebasan individu yang menjadikanmuslimah memaki pendek, minim dan atau seperti pria adalah haram dan ikhwan tidak akan toleran dengan hal itu.”( majalah islah )
di ambil dari buku : ijtihad membangun basis pergerakan
oleh : pak amin sudarsono PP KAMMI