oleh : Muhammad Syarif Hidayatullah
Utang Indonesia saat ini mencapai Rp. 1803 Triliun, atau naik Rp 126 Triliun dari tahun sebelumnya. Alasan yang umum dikeluarkan pemerintah terkait utang adalah utang diperlukan untuk menutup defisit anggaran dan defisit anggaran dibutuhkan untuk menstimulus perekonomian. Pada APBN-P 2011 pemerintah menargetkan defisit sebesar 2,1 % yang menyebabkan pemerintah harus berhutang sebanyak Rp 151,1 Triliun. Angka ini tentunya akan terus bertambah karena pada APBN 2012, pemerintah kembali menargetkan defisit anggaran sebesar 1,5% dari GDP atau Rp 124 Triliun.
Dalam ranah ilmu ekonomi, defisit anggaran (budget deficit) adalah kebijakan anggaran dimana pengeluaran lebih besar dari penerimaan negara (yang bersumber dari pajak dan pendapatan
lainnya). Defisit anggaran ini dibutuhkan untuk membiayai besarnya belanja negara (Seda, 2007). Menurut Mankiw (2003), ada tiga alasan mengapa defisit dibutuhkan, pertama untuk stabilisasi, kedua untuk tax smoothing, ketiga untuk redistribusi intergenerasi.
Perdebatan ekonomi dan politik terhadap defisit anggaran ini sudah lama terjadi. Pihak yang kontra akan defisit berpendapat bahwa defisit anggaran (yang dibiayai melalui utang) akan menyebabkan beban pajak berpindah dari generasi saat ini ke generasi yang akan datang (Hyman, 1983). Hal teresbut bisa terjadi karena defisit bersumber dari utang dan untuk membayar utang dan beban bunga pemerintah harus menaikkan pajak di masa yang akan datang. Di sisi lain, argumen yang mendukung adanya defisit anggaran adalah karena defisit dapat menopang pertumbuhan ekonomi dan memperkuat daya beli masyarakat melalui ekspansi fiskal.
Lalu, bagaimana dengan kebijakan defisit anggaran di Indonesia. Selama beberapa tahun terakhir Indonesia menjalankan kebijakan defisit anggaran guna mempercepat pembangunan ekonomi. Yang jadi pertanyaan adalah, apakah defisit tersebut benar-benar digunakan secara maksimal dan produktif.
Menurut hemat penulis, ada dua permasalahan dalam kebijakan defisit anggaran di Indonesia, pertama belum tergunakan secara maksimal, kedua masih membiayai untuk sektor yang tidak produktif. Defisit anggaran di Indonesia seringkali menjadi percuma karena rendahnya kemampuan pemerintah menyerap anggaran. Dari tahun 2007 hingga 2010, Indonesia selalu gagal menyerap anggaran defisit. Berturut-turut dari tahun 2007-2010 defisit direncanakan sebesar 1,5%, 2,1%, 2,4%, 2,1%. Akan tetapi realisasinya hanya sebesar 1,3%, 0,1%, 1,6%, dan 0,7%. Sepintas, kerugian yang ditanggung oleh Indonesia hanyalah minimnya ekspansi karena rendahnya penyerapan dana defisit. Akan tetapi permasalahan sebenarnya adalah pada tidak produktifnya utang pemerintah yang seharusnya dipakai untuk membiayai defisit.
Sebagian besar sumber pembiayaan untuk kebijakan defisit anggaran adalah utang. Dalam kurun waktu 2005-2011, 78,3% sumber pembiayaan defisit berasal dari utang. Utang ini didapat baik dari penjualan obligasi pemerintah maupun pinjaman luar negeri.
Dalam APBN, gap antara realisasi defisit dan realisasi pembiayaan disebut Silpa (sisa lebih pembiayaan anggaran). Pada tahun 2006, Silpa kita mencapai Rp 0,3 Triliun, angka ini melonjak di tahun 2008 yang mencapai Rp 80 Triliun, tahun 2009 sebesar Rp 24 Triliun dan tahun 2010 sebesar Rp 44,7 Triliun. Pada tahun 2011, diperkirakan angka Silpa masih akan tinggi, mengingat rendahnya penyerapan anggaran oleh pemerintah. Besarnya Silpa berarti ada sejumlah utang kita yang akhirnya “tidak terpakai” di tahun anggaran tersebut.
Besarnya Silpa menjadi indikasi bahwa perencanaan anggaran kita masih belum baik. Tentunya, pembiayaan melalui utang ini akan membebani anggaran pemerintah ke depan, karena pemerintah harus membayar bunga dan cicilan utang setiap tahunnya.
Permasalahan kedua dan tidak kalah pentingnya adalah defisit Indonesia masih belum terpakai untuk sektor yang produktif. Menilik dari struktur belanja pemerintah, banyak pengeluaran pemerintah dipakai untuk sektor-sektor yang kurang produktif. Sebagian besar APBN Indonesia terpakai untuk belanja pegawai, pembayaran bunga utang, dana alokasi umum, dan subsidi energi. Pengeluaran untuk keempat pos tersebut mencapai 55% dari total APBN (APBN 2011). Dana alokasi umum yang seharusnya dipakai untuk belanja pembangunan di daerah pun pada akhirnya habis untuk belanja pegawai. Rata-rata rasio belanja pegawai terhadap total pengeluaran di 33 provinsi dan 500 Kabupaten/kota mencapai 50%, padahal untuk belanja modal (yang cenderung lebih produktif) hanya sebesar 21%.
Pemerintah seringkali mematok defisit anggaran yang besar padahal kemampuan pemerintah untuk menyerap anggaran tersebut masih sangat minim. Pemerintah harus dapat memperkirakan kemampuannya untuk menyerap anggaran dan disesuaikan dengan perencanaan anggaran. Sehingga, pemerintah tidak perlu berhutang apabila tidak diperlukan. Kemampuan pemerintah untuk menyerap anggaran harus ditingkatkan, hal ini bisa dilakukan dengan memperbaiki sistem lelang dan pengadaan barang.
Untuk memperbaiki sistem lelang dan pengadaan barang, alangkah baiknya apabila penggodokan RUU Pengadaan dapat dipercepat. Selain itu pemerintah perlu terus menggenjot pendirian layanan pengadaan secara elektronik (LPSE) dan menambah tenaga ahli yang bersertifikat.
Menyikapi permasalahan ini, alangkah baiknya kita kembali mengingat nasihat sesepuh ekonom Indonesia, yaitu Frans Seda yang pernah mengatakan betapa pentingnya internal balance dalam APBN Indonesia. Menurut Frans Seda, harus ada pemisahan yang tegas antara sumber pembiayaan untuk belanja rutin dan belanja pembangunan. Menurutnya, belanja rutin hanya boleh bersumber dari pembiayaan dalam negeri (pajak, retribusi, dan lainnya). Sedang untuk pembiayaan pembangunan boleh menggunakan utang. Sistem keuangan ala Frans Seda tersebut memang sudah diganti seiring dilakukannya reformasi keuangan. Akan tetapi, argumen tersebut masih sejalan dengan spirit bahwa utang itu boleh dilakukan selama dipakai untuk pembiayaan proyek yang produktif. Dengan begitu, utang yang kita keluarkan akan lebih tepat sasaran.