Oleh : Budi Ribut Seniman ( Anggota Biasa 2 KAMMI Kom.Al-fath UMS )
Bulan Ramadhan sesungguhnya adalah bulan bersejarah bagi bangsa Indonesia. Pada bulan ini, tepatnya pada 9 Ramadhan 1364 H atau 17 Agustus 1945 M, Soekarno – Hatta atas nama bangsa Indonesia memprolamasikan kemerdekaan Indonesia setelah lebih kurang 350 tahun lamanya hidup terjajah; sejak tahun 1602 dimana VOC (Verenigde Oostindische Compagnie) sebuah perusahaan dagang Belanda melakukan monopoli perdagangan dan aktivitas kolonial; kemudian sistem tanam paksa (cultuurstelsel) yang diterapkan oleh pemerintah Belanda sejak tahun 1830 hingga penjajahan Jepang yang berakhir tahun 1945.
Baik 17 Agustus maupun puasa ramadhan, dalam konteks Indonesia, adalah dua momentum yang bertemu pada satu titik yakni kemerdekaan. Hanya saja makna kemerdekaan yang terkandung didalamnya berbeda.
Untuk tujuh belas agustus yang merupakan moment terlepasnya bangsa Indonesia dari penjajahan kolonial, adalah cermin dari kebebasan fisik. Kemerdekaan dalam konteks ini lebih dioreintasikan bagaimana rakyat Indonesia tidak lagi di jajah oleh penjajah, masyarakat sejahtera, memiliki sandang, pangan dan papan.
Bulan Ramadhan pada hakekatnya juga mencermikan spirit kemerdekaan. Namun kemerdekaan yang diusung oleh bulan puasa adalah kemerdekaan jiwa, ruh dan mental – spiritual. Pada hakekatnya puasa adalahkekuatan pembebas dari belenggu penjajahan. Bentuk penjajahan dalam bentuk ini adalah hal – hal yang masuk dalam kategori penyakit ruhani, mislanya suka berbohong, berkhianat, suka korupsi, dan sebaginya.
Ramadan telah datang menghampiri kita, mengajarkan kemerdekaan yang hakiki. Yakni terbebasnya jiwa dari kotoran yang merusak keimanan, melemahkan mental, menghancurkan akhlak mulia, menumbuhkan kebodohan dan kemalasan, mencabut keberanian dan melenyapkan semangat juang.
Di bulan penuh rahmat ini kita berlatih melakukan perlawanan terhadap hawa nafsu dan syahwat. Berupaya menundukkan dan mengendalikannya agar tidak menjajah jiwa. Inilah kemerdekaan hakiki.
Apakah kita akan berteriak ‘merdeka!’, sementara kebodohan, korupsi dan penyalahgunaan wewenang, kemiskinan dan pengangguran, kriminalitas dan kekerasan; krisis penegakkan hukum, kerusakan etika dan budaya masih mewabah?Apakah kita akan berteriak ‘merdeka!’, sementara diri kita masih terjajah oleh hawa nafsu? Bahkan tanpa sadar menjadikannya sebagai ‘tuhan’ kita?
“Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya. Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya?” Ayat ini merupakan celaan kepada mereka yang memperturutkan hawa nafsunya sehingga dijadikan landasan untuk semua urusannya. Mereka tidak mau memperhatikan aturan-aturan Allah Jalla wa ‘Ala, dan tidak mau mengindahkan ajaran serta bimbingan rasul-Nya.
Oleh sebab itu, puasa Ramadhan mesti ditransformasikan pula dalam kehidupan politik. Dengan sikap menahan diri dari perilaku negatif dan Lewat pendidikan Ramadhan ini, penulis berharap dapat berkurangnya segala praktek korupsi yang sudah mengakar di Indonesia serta praktek politik yang di praktekkan oleh politikus dapat lebih berkualitas dibanding tahun-tahun kemarin, dan mampu menjadi bahan refleksi bagi negara lain.